Rabu, 07 Maret 2012

Sejarah Keraton Palembang: Sekilas Tentang Palembang

Share on :

Oleh: DJOHAN HANAFIAH


Kota Palembang adalah sebuah kota tua di Nusantara, mempunyai sejarah panjang dalam khasanah budaya Nusantara. Sebuah nama yang paling banyak memberikan catatan, bahkan ilham dalam perkembangan sejarah dan kebudayaan di Nusantara. Meskipun nama ataupun toponim Palembang itu sendiri secara sederhana hanya menunjukkan suatu tempat (Pa yang berarti suatu kata awal menunjukkan tempat). Kosakata lembang berasal dari bahasa Melayu yang artinya: tanah yang rendah, tanah yang tertekan, akar yang membengkak dan lunak karena lama terendam dalam air, menetes atau kumparan air. Selanjutnya, dalam bahasa Melayu lembang berarti: tanah yang berlekuk, tanah yang menjadi dalam karena dilalui air, tanah yang rendah. Selain itu, ada pengertian lembang yang cukup menarik, yaitu: tidak tersusun rapi; berserak-serak.

Pengertian Pa-lembang adalah tempat yang berkumparan air, atau tanah yang berair dicatat pertama kali oleh pelapor Belanda tahun 1824 di dalam buku Proeve Eener Beschrivjing van het Gebied van Palembang. Diterbitkan oleh J. Oomkens, Groningen tahun 1843, dan penulis atau pelapor tersebut adalah W. L. de Sturler (pensiunan mayor tentara Belanda). Dengan demikian, pengertian orang-orang Palembang pada waktu itu tentang nama kotanya adalah ‘tempat yang tergenang air’. Gambaran topografi Palembang pada tahun 1990 tergambar jelas dalam angka statistik berikut ini (Kantor Statistik Kota Palembang):

1. Tak tergenang air seluas 10.009, 4 hektare (47,76 %)
2. Tergenang sehari setelah hujan 444,4 hektare (2,12 %)
3. Tergenang pengaruh pasang surut 308,1 (1,47 %)
4. Tergenang musiman 2.366,1 hektare (11,29 %)
5. Tergenang terus-menerus 7.829,8 hektare (37,36)


Kota Palembang terletak sekitar 75 mil dari muara Sungai Musi, di mana muara tersebut terletak di Selat Bangka. Kota itu sendiri terletak di pinggir Sungai Musi di antara muara Sungai Ogan dan Sungai Komering (dua sungai besar yang bermuara diSungai Musi). Kota ini diyakini telah berumur 1320 tahun berdasarkan tafsir dan analisis Prasasti Kedukan Bukit.

Dalam penelitian sejarah dan arkeologi yang panjang dan berlarut (sejak tahun 1918), maka setelah berpolemik dalam tulisan-tulisan dan seminar-seminar yang hangat, para pakar dan sarjana berkesimpulan adanya kerajaan besar bernama Sriwijaya yang pada abad ke-7 berpusat di Palembang. Sejak tahun 1982—1990 penggalian arkeologi secara intensif dilakukan di Kota Palembang. Hasilnya merupakan analisis temuan arkeologi, antara lain berupa prasasti, arca, keramik, fragmen perahu, dan ekskavasi pada permukiman kuno.

Bentuk Kota Palembang dari abad ke-8—9 berdasarkan laporan dan catatan kronik Cina serta tulisan pelaut Arab dan Parsi dapat diyakini bentuknya adalah memanjang sepanjang Sungai Musi, mulai dari sekitar Pabrik Pupuk Sriwijaya sampai ke Karang Anyar, di mana di bagian Seberang Ulu tidak ada pemukiman. Bentuk kota seperti ini menurut morfologi kota disebut ribbon shaped city (kota berbentuk pita). Luas kota ini menurut catatan saudagar Arab, Sulayman, pada tahun 815 yang mencatat beberapa “gosip” (tuturan) para pedagang bahwa “pantas dapat dipercaya bahwa luas kota ini didengar dari kokok ayam di waktu Subuh dan terus-menerus berkokok bersahutan dengan ayam jantan lainnya yang berjarak lebih dari 100 prasang (satu prasang kurang lebih 6,25 km), karena kampungnya berkesinambungan satu sama lain tanpa terputus”.

Catatan saudagar Arab tersebut di atas tidak jauh dari anekdot yang dicatat pelapor Belanda L.C. Westenenk. Ia mencatat bahwa besarnya batas kota ini digambarkan bagaimana seekor kucing dapat berjalan tanpa memijak tanah dari Palembang Lama ke Batanghari Leko, karena cukup dengan hanya melompat dari satu atap ke atap lain dari rumah-rumah penduduk.

Dapat dibayangkan dalam kenyataan Palembang pada masa Sriwijaya tersebut dengan membandingkan letak dari Prasasti Telaga Batu yang berada di Kampung 2 Ilir dan Prasasti Kedukan Bukit di 35 Ilir, serta Prasasti Talang Tuo yang berada di Kecamatan Talang Kelapa. Yang pasti, bentuk Kota Palembang berorientasi sepanjang Sungai Musi di belahan Seberang Ilir. Dapat pula dikatakan bahwa Palembang pada waktu itu berada di perairan antara muara Sungai Komering dan Sungai Ogan.

Bagaimana terserak-seraknya Kota Palembang pada waktu, seperti arti kata lembang (terserak-serak; tidak tersusun rapi), dapat dibaca dari catatan Cina abad ke-12 dan 13. “Penduduknya tinggal di luar kota, atau mereka tinggal di rakit di atas air, suatu tempat tinggal yang lantainya terdiri dari bambu. Mereka dibebaskan dari segala bentuk pajak”.

Selanjutnya, catatan Cina lainnya, yaitu Yeng-yai sheng-lan-chiao-chu. Catatan ini menggambarkan keadaan di masa itu sebagai berikut. “Tempat ini dikelilingi oleh air dan tanh kering sedikit sekali. Para pemimpin semuanya tinggal di rumah-rumah yang dibuat di atas tanah yang kering di pinggiran sungai. Rumah-rumah rakyat biasa terpisah dari rumah-rumah pemimpin. Mereka semua tinggal di atas rumah-rumah rakit yang diikatkan pada tiang di tepian dengan tali. Apabila air pasang, rakit akan terangkat dan tak akan tenggelam. Seandainya penduduk akan pindah ke tempat lain, mereka memindahkan tiang dan menggerakkan rumahnya sendiri tanpa mengalami banyak kesulitan. Di dekat muara sungai, pasang dan surut terjadi 2 kali dalam sehari semalam”.

Gambaran bagaimana kehidupan penduduk Palembang dengan air atau sungai, digambarkan dengan jelas oleh sarjana biologi Inggris yang terkenal di abad ke-19 sewaktu berkunjung ke Palembang, yaitu Alfred Wallace Russel: “Penduduknya adalah Melayu tulen, yang tak akan pernah membangun sebuah rumah di atas tanah kering selagi mereka masih melihat dapat membuat rumah di atas air, dan tak akan pergi ke mana-mana dengan berjalan kaki, selagi masih bisa dicapai dengan perahu”.

Gambaran Alfred Wallace Russel di atas merupakan suatu kenyataan buruk bagi Gemeente Palembang, yaitu suatu kendala saat Gemeente ingin membangun Kota Palembang secara modern. Dalam laporan setelah 25 tahun Palembang menjadi Gemeente, yaitu suatu pemerintah kota yang otonom pada tahun 1906 adalah sebagai berikut. “Kesulitan untuk mendapatkan lahan pembangunan yang cocok dalam kota ini disebabkan di satu pihak masih banyak terdapat rawa-rawa di antara tanah yang lebih tinggi, di lain pihak di tanah yang tinggi yang baik itu dipenuhi terutama oleh tanah perkuburan. Generasi-generasi terdahulu memilih tempat tinggal di tanah-tanah rendah dekat air, dan menguburkan jenazah-jenazah mereka di tanah tinggi yang kering (cetak miring oleh penulis).

Selanjutnya, laporan pada tahun 1930 menggambarkan bahwa topografi Palembang sebagai suatu waterfront, kota yang menghadap ke air dengan anak-anak sungai yang besar dan kecil memotong kedua tepiannya, sehingga membentuk kota laguna. Banyaknya anak-anak sungai memberikan kota ini julukan yang lebih indah, sebagai Indisch Venetie. Gambaran kota lebih lagi mempunyai cirinya yang jelas dengan banyaknya rumah-rumah dibangun di atas tiang-tiang kayu oleh karena permukaan tanah yang luas dari kota ini adalah rawa. Rumah-rumah ini satu dengan lainnya dihubungkan dengan jembatan layang yang sederhana dari kayu di atas tiang-tiang.

Adanya pasang surut dan lebatnya hujan, menyebabkan permukaan air berbeda sangat besar. Perbedaan tingkat pada air pasang surut di musim hujan dengan musim kemarau kira-kira 3,8 meter. Pada saat air pasang banyak tanah tenggelam di bawah air, di mana tambangan (perahu) berkeliling dengan lincah di sekitar kota, menimbulkan suatu pemandangan bagaikan lukisan. Sebaliknya, pada saat air surut, tanah dan solok (anak sungai kecil) berubah menjadi lumpur, yang memberikan pemandangan yang tidak indah dan rakyat menamakannya “kota lumpur”.

Topografi Palembang



Telah digambarkan bahwa sejak zaman Sriwijaya sampai ke zaman kolonial, yaitu pada saat Palembang menjadi Kotapraja (gemeente), keadaan topografinya tidak mengalami banyak perubahan. Bentuk kota yang memanjang sepanjang Sungai Musi, mulai dari persimpangan muara Sungai Komering sampai dengan persimpangan muara Sungai Ogan.

Para arkeolog melihat Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya, tidak melihat peninggalan yang menggambarkan suatu kemegahan. Barangkali Palembang sebagai pusat Sriwijaya tidak sama dengan pusat-pusat kerajaan lain, yang banyak ditemukan di wilayah Asia Tenggara, seperti di Thailand, Kamboja, dan Birma. Palembang diduga bersifat “mendesa” (rural). Bahan untuk membuat bangunan-bangunannya hanyalah bahan-bahan dari kayu atau bambu yang mudah didapat di sekitarnya. Sayangnya, bahan-bahan ini merupakan bahan bangunan yang mudah rusak termakan zaman, sehingga sisa rumah tinggal sudah tidak dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa permukiman kayu hanya ditemukan di daerah rawa atau sungai yang selalu terendam air. Bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu hanya diperuntukkan bagi bangunan sakral (bangunan keagamaan).

SUMBER:
BERITA MUSI 28.09.2009 00:44:58 WIB

2 komentar:

  1. wah,,ternyata mas ini sosok yang sangat mengenal kebuadayaan ya,,salut saya :)

    BalasHapus
  2. makasih kunjungannya, Mas Abed :) belum, Mas. saya masih harus banyak belajar lagi, Mas

    BalasHapus