Minggu, 30 September 2012

Komplek Pemakaman Sabokingking



Dilalui Kapal Besar, Tempat Pertemuan Wali Serta Raja, Cukup banyak komplek pemakaman raja Palembang. Salah satu yang tertua dan cukup unik, komplek pemakaman Sabokingking, di kawasan I Ilir, Sungai Buah, Kecamatan Ilir Timur (IT) II.

Dari letaknya yang dikelilingi sungai, konon sebelum menjadi areal pemakaman, tempat ini merupakan tempat pertemuan. Para ulama serta raja Palembang. Wajar jika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Palembang menjadikan areal pemakaman Sabokingking menjadi objek wisata. Dari letaknya saja termasuk unik. Kawasan ini dikeliling perairan sungai. Yakni anak sungai Musi, sungai Buah.

Airnya pun hingga kini masih terjaga. Terlihat jernih, berbeda dengan anak-anak sungai Musi lain yang kebanyakan menghitam dan menimbulkan bau tidak sedap akibat sampah buangan masyarakat.

Keterangan juru kunci makam Sabokingking, Zulkifli Madinah, sebelum dinamakan dengan Sabokingking, nama tempat ini Istono Sobo. Yang berarti tempat pertemuan. Mereka yang sering melakukan pertemuan adalah ulama dan para wali.

Nama Istono Sobo berganti menjadi menjadi Sabokingking setelah para raja kerajaan Palembang ikut dalam pertemuan tersebut. Yang cukup mengejutkan, keterangan Ujang, sapaan akrab Zulkifli Madinah, para ulama serta raja itu pergi ke Sabokingking dengan menggunakan kapal-kapal besar.

Dilihat dari keadaan sungai Buah yang mengelilingi areal pemakaman saat ini, sulit dipercaya jika kapal-kapal besar dapat melalui sungai tersebut. Hanya saja, Ujang yang menggantikan ayahnya, Madinah Yahya sebagai juru kunci menyakini, pada abad ke 17, saat tempat tersebut digunakan sebagai tempat pertemuan, sungai Buah masih lebar dan dalam.

Bisa jadi, karena sejak dulu Palembang mendapat julukan Venesia dari Timur karena ratusan anak sungai Musi yang ada. Sehingga, para ulama berasal dari Yaman, Persia termasuk para raja yang istananya kala itu berada di kawasan PT Pusri dapat merapatkan kapal.

“Bukti kongkritnya, di daerah ini ada empat lorong yang dinamakan lorong Kemudi. Karena masyarakat pernah menemukan kemudi kapal besar di sungai,” jelasnya.

Era Ratu Sinuhun, Ciptakan UU Simbur Cahaya

Di dalam serta luar bangunan komplek, terdapat 41 makam. Di dalam, makam utamanya ialah makam Pangeran Ing Kenayan bersama istrinya Ratu Sinuhun serta Habib Muhammad Nuh yang merupakan guru besar dari Yaman dan menjadi penasehat kerajaan.

Makam lain, berada di tingkat bawah para hulubalang serta panglima Abdurahman. Nama yang satu ini, menurut Ujang selain sosok panglima perang juga merupakan ulama besar yang menyebarkan agama Islam di Palembang.

Pangeran Ing Kenayan serta Ratu Sinuhun sendiri berkuasa pada tahun 1622. Dilihat dari silsilah, termpampang di luar makam, antara Pangeran Ing Kenayan serta Ratu Sinuhun berada di satu garis keturunan. Mereka masih keturunan Ki Gede Ing Suro.

Ayah Ki Gede Ing Suro sendiri merupakan Sido Ing Lautan. Seorang bangsawan Jawa yang datang bersama pengikutnya ke Palembang pada abad ke 16. Kemudian ia digantikan oleh putranya yang bernama Ki Gede Ing Suro pada tahun 1552 dan mendirikan Kerajaan Palembang.

Pada masa pemerintahan Ratu Sinuhun sendiri, diyakini sebagai era diciptakanya UU Simbur Cahaya. Bahkan, Ratu Sinuhun inilah dikatakan sebagai pencipta UU tersebut. Yang mengatur masalah adat istiadat di Sumsel.

Berbagai masalah diatur dalam UU ini. Seperti adat bujang gadis dan perkawinan, marga dan aturan kaum, aturan dusun dan berladang, masalah pajak, serta hukuman. Pada masa penjajahan Belanda hingga kini pun, UU Simbur Cahaya masih digunakan.

“Salah satunya contohnya gotong royong. Istilah gotong royong itu berasal dari UU Simbur Cahaya,” ungkap Ujang.

Ratu Sinuhun sendiri kemudian dimakamkan di dekat suaminya, Pangeran Ing Kenayan yang lebih dulu meninggal. Setelah diikuti para pengikutnya.

Hingga kini banyak masyarakat dari berbagai penjuru berdatangan ke pemakaman ini. Untuk berziarah dan berdoa, meminta kepada Allah SWT melalui para ulama ini. Inilah yang menyebabkan masyarakat setempat terlihat banyak berjualan kembang untuk berziarah. Pengunjung lebih banyak pada Maulid Nabi dan bulan Suro.

“Bukan meminta kepada makam. Tapi melalui perantara ulama dan auliya’ ini. Doa itu kan lebih cepat dikabulkan jika melalui perantara orang yang dekat dengan Allah,” tandas Ujang. (wwn)

Written by: Samuji Selasa, 07 Juni 2011 11:25 | Sumeks Minggu

Makam Ki Gede Ing Suro, Jejak Awal Kerajaan Islam Palembang



Kompleks pemakaman kuno ini sekarang menjadi bagian dari jalur hijau (green barrier) PT Pusri. Di kompleks pemakaman yang masuk dalam wilayah administratif Kelurahan 1 Ilir, Kecamatan IT II Palembang, ini terdapat delapan bangunan dengan jumlah makam keseluruhan 38.

Salah satu tokoh yang dimakamkan di kompleks pemakaman yang dibangun sekitar pertengahan abad 16 ini adalah Ki Gede Ing Suro. Dialah pendiri kerajaan Islam Palembang, yang kemudian menjadi Kesultanan Palembang Darussalam.

Ki Gede Ing Suro adalah putra Ki Gede Ing Lautan, salah satu dari 24 bangsawan dari Demak yang menyingkir ke Palembang, setelah terjadi kekacauan di kerajaan Islam terbesar di pulau Jawa itu. Kekisruhan ini merupakan rangkaian panjang dari sejarah kerajaan terbesar di Nusantara, setelah Kerajaan Sriwijaya yaitu Kerajaan Majapahit.

Raden Fatah yang lahir di Palembang adalah putra Raja Majapahit terakhir, yaitu Brawijaya V. Raden Fatah lahir dari Putri China yang disebut Putri Champa, setelah istri Brawijaya itu dikirim ke Palembang dan diberikan kepada putra Brawijaya, Ariodamar atau Ario Abdillah atau Ario Dillah.

Setelah dewasa, Raden Fatah bersama Raden Kusen, putra Ario Dillah dengan Putri China dikirim kembali ke Majapahit. Oleh Brawijaya V, Raden Fatah diperintahkan untuk menetap di Demak atau Bintoro sedangkan adiknya lain bapak, Raden Kusen, diangkat sebagai Adipati di Terung.

Pada masa menjelang akhir abad XV ini, Islam di Pulau Jawa mulai kuat. Saat terjadi penyerbuan oleh orang Islam terhadap Majapahit, prajurit kerajaan Hindu itu kalah dan Raja Brawijaya V menyingkir hingga kemudian mangkat. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Majapahit.

Setelah keruntuhan Majapahit, Sunan Ngampel Denta (wali tertua dalam Walisongo) menetapkan Raden Fatah sebagai Raja Jawa menggantikan ayahnya. Tentu saja, dengan pemerintahan Islam.

Raden Fatah, dibantu para wali, kemudian memindahkan pusat kekuasaan dari Surabaya ke Demak sekaligus menyebarkan agama Islam di daerah ini. Atas bantuan penguasa dan rakyat di daerah yang sudah lepas dari Majapahit, antara lain Tuban, Gresik, Jepara, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1481 M.

Dia menjadi raja pertama dengan gelar Jimbun Ngabdur-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata Agama. Raden Fatah yang wafat sekitar tahun 1518 M, digantikan putranya, Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521 M.

Pengganti Pati Unus adalah Pangeran Trenggono (wafat tahun 1546 M). Wafatnya Sultan ketiga Demak ini merupakan awal dari kisruh berkepanjangan di kerajaan Islam yang sempat punya pengaruh besar di Nusantara itu. Tahta kerajaan menjadi rebutan antara saudara Trenggono dengan putranya.

Saudaranya, yang dikenal sebagai Pangeran Seda Ing Lepen dibunuh putra Trenggono, Pangeran Prawata. Prahara berlanjut dengan pembunuhan terhadap Prawata oleh Putra Seda Ing Lepen, Arya Penangsang atau Arya Jipang pada tahun 1549 M.

Menantu Trenggono, Pangeran Kalinyamat, juga dibunuh. Arya Penangsang akhirnya wafat dibunuh Adiwijaya. Menantu Trenggono yang terkenal sebagai Jaka Tingkir, Adipati penguasa Pajang ini kemudian memindahkan pusat kerajaan ke Pajang. Dengan demikian, berakhir pula kekuasaan Demak pada tahun 1546 M setelah berjaya selama 65 tahun.

Akibat kemelut itu, sebanyak 24 orang keturunan Sultan Trenggono (artinya, keturunan Raden Fatah) hijrah ke Palembang di bawah pimpinan Ki Gede Sido Ing Lautan. Setelah Ki Gede Sido Ing Lautan yang sempat berkuasa di Palembang wafat, digantikan putranya, Ki Gede Ing Suro. Karena raja ini tidak memiliki keturunan, dia digantikan saudaranya, Ki Gede Ing Suro Mudo.

Written by: Taufik Wijaya


Komplieks Makam Ki Gede Ing Suro


Kompleks Makam Ki Gede Ing Suro