Sabtu, 30 Juni 2012

Legenda Si Pahit Lidah

Legenda Si Pahit Lidah


Tersebutlah kisah seorang pangeran dari daerah Sumidang bernama Serunting. Anak keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikhabarkan berseteru dengan iparnya yang bernama Aria Tebing. Sebab permusuhan ini adalah rasa iri-hati Serunting terhadap Aria Tebing.

Dikisahkan, mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan. Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang Aria tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna.

Perseteruan itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya (isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting.

Menurut kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi.

Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi mengembara.

Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Seperti yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit Lidah.

Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, "jadilah batu." Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu.

Namun, ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak.

Bukti Batu Gajah Di Pasemah akibat "Kutukan" Si Pahit Lidah

Legenda Si Pahit LidahNurhadi Rangkuti meraba-raba batu gajah sambil menjelaskan torehan gelang kaki pada wujud tokoh manusia yang memegang gajah, yang merupakan benda koleksi Museum Balaputradewa di Palembang.

Si Pahit Lidah sungguh sakti kata-katanya. Setiap serapah sumpah yang keluar dari mulutnya yang berlidah pahit kontan akan membuat benda yang dikutuk menjadi batu. Begitu kira-kira dongeng lisan masyarakat Pasemah di kawasan Lahat dan Pagar Alam di Sumatera Selatan.

Kesaktian tokoh suci folklorik itu menjadi salah satu hiasan info populer perihal banyaknya arca batu dan batu bertatahkan torehan bentuk manusia dan binatang.

Cerita rakyat itu hanya imbuhan karena para pakar arkeologi sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini masih terkagum- kagum dan takjub dengan adanya peninggalan budaya masa lampau, konon ditaksir sudah sejak beratus-ratus tahun silam.

Lokasi situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.

Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC Westernenk (1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik yang penuh serakan peninggalan arkeologi.

"Van den Hoop tercatat membawa batu bundar ini ke Palembang, sekitar tahun 1930-an tanpa penjelasan rinci," ujar Drs Nurhadi Rangkuti MSi (49), Kepala Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, akhir Februari lalu, saat menjelaskan batu besar berhiasan unik yang kini koleksi Museum Balaputradewa di kota Palembang.

Batu bundar macam telur besar pejal asal Kotoraya di Lahat mencolok sekali tatahan dan goresannya berbentuk gajah dan manusia. Perhatikan hiasan pahatannya, menggambarkan seorang manusia sedang menggapit seekor gajah. Tokoh itu mengenakan tutup kepala macam ketopong, telinganya mengenakan semacam anting dan mengenakan juga kalung leher. Kakinya mengenakan gelang kaki yang diduga berbahan logam. Di punggung manusia itu ada sebentuk nekara, tetapi wajahnya berbibir tebal, hidung pesek dan pendek, mata lonjong dan badannya terkesan bungkuk. Di pinggangnya terdapat senjata tajam, ujar Nurhadi yang mengaku belum pernah mengukur rinci besar dan bobot batu andesit itu.

"Dari ujung belalai sampai ke ekor gajahnya, sekitar 2,7 meter. Di balik relief gajah ini, ada pula bentuk seekor babi bertaring panjang dengan dua tokoh manusia."

Peninggalan tradisi megalitik itu amat terkenal di dunia kajian arkeologi karena, selain diduga dari masa prasejarah, tradisi batu besar itu pun berlanjut sampai kini. Bentuk peninggalan megalitik lainnya di wilayah Pasemah, selain batu gajah dan beberapa arca besar lainnya yang kini ada di Palembang, di Pagar Alam juga masih banyak peninggalan arkeologi berupa arca batu besar, alat-alat batu, tembikar, bilik batu dan menhir.

Khususnya di situs bilik batu, terdapat lukisan menggambarkan manusia sedang menggamit seekor kerbau dengan warna merah bata, hitam, dan kuning oker. Selain itu, juga ada lukisan aneka bentuk lukisan manusia, binatang, dan burung dengan kombinasi warna merah, kuning, putih, dan hitam.

"Seluruh peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa pada masa lampau di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal manusia, di daerah tepian sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian yang lebih sedikit maju ditemukan di daerah kaki Gunung Dempo di sekitar kota Pagar Alam sekarang. Di daerah ini ditemukan banyak sekali arca megalit dan bilik-bilik batu yang berhiaskan lukisan…," tulis arkeolog Bambang Budi Utomo.

Kompas

Legenda Raja Buaya

Lagenda Raja Buaya


Sumatera Selatan, sebagai daerah yang dipenuhi rawa-rawa dan dilewati banyak sungai, memiliki populasi yang cukup banyak dan penampakan buaya merupakan hal biasa. Bahkan di kalangan masyarakat dikenal pula ilmu buaya. Yakni ilmu hitam, yang mana pemiliknya akan berubah menjadi buaya kalau sudah meninggal dunia.

Di tepian Sungai Musi, Palembang, banyak legenda mengenai buaya yang diceritakan turun temurun, salah satunya legenda buaya putih. Beberapa tempat yang diyakini tempat munculnya buaya putih adalah di aliran Sungai Ogan, seperti di bawah jembatan Ogan, Kertapati, Palembang dan lokasi pedalaman sungai Ogan. Munculnya buaya putih ini diyakini selalu menjadi pertanda akan terjadi bencana besar di Sumsel atau di Indonesia.

Demikian juga warga di Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel. Mereka sangat percaya dengan legenda-legenda mengenai buaya. Sebagian besar warga Pemulutan percaya, nenek moyang mereka adalah buaya. Sebab ilmu buaya banyak dikuasai masyarakat Pemulutan dan ada yang menjadi pawang buaya. Banyak warga Pemulutan yang dapat berubah menjadi buaya jika masuk ke dalam sungai atau rawa. Ini adalah ilmu hitam yang biasanya dikuasai para bandit.

Di masyarakat Palembang juga ada kisah/legenda menarik dari abad ke-16. Saat itu raja Palembang bingung bagaimana mengatasi buaya-buaya yang berada di Sungai Musi. Buaya-buaya itu ganas dan dapat membuat warga terancam nyawanya. Lalu, sang raja mendatangkan seorang pawang buaya dari India. Dengan janji akan memberikan banyak hadiah, sang raja meminta si pawang menjinakkan buaya-buaya di sungai Musi. Buaya-buaya itu pun jinak. Si pawang pun menerima banyak hadiah.

Kemudian raja mengajak sang pawang ke daerah pedalaman yang banyak buayanya. Kembali pawang itu menaklukkan buaya-buaya menjadi jinak. “Coba kau buat buaya-buaya itu kembali menjadi ganas. Aku mau tahu bagaimana kehebatan ilmumu?” kata sang raja.

Pawang yang sudah mabuk pujian itu kemudian membuat buaya-buaya itu menjadi ganas. Ayam dan ternak yang dilempar ke sungai dengan cepat dimakan buaya. Dan, ketika si pawang lengah, seorang prajurit kerajaan Palembang mendorong pawang ke gerombolan buaya. Tak ayal si pawang itu mati dimakan buaya. Lokasi terbunuhnya pawang itu diperkirakan di pesisir timur Sumatera Selatan, seperti Pulaurimau, atau di kawasan Pemulutan.

Kalau pawang ini tidak dibunuh, saya khawatir dia dapat mempermainkan kita. Atau, kalau dia tidak senang dengan kita, buaya-buaya di sungai Musi dibuatnya menjadi ganas lagi, kata sang raja.Oleh karena itu, tidaklah heran, buaya di sungai Musi dengan buaya di daerah pedalaman Sumatra Selatan berbeda karakternya. Di sungai Musi tidak ada buaya yang bersifat ganas, meskipun saat ini sudah jarang terlihat, berbeda dengan daerah pedalaman yang terkenal dengan buayanya yang ganas-ganas.