Prof Drs Baderel Munir Amin MA, Tambah Kosakata Via FB, Rancang Edisi Kedua
Pria ini asli Palembang. Meski 30 tahun terakhir ia telah tinggal di Ibukota Jakarta, tetap saja Prof Drs Baderel Munir Amin MA memperhatikan kebudayaan asli Palembang. Yakni, baso Pelembang yang kini dikuasai segelintir orang tua sebagai generasi terakhir. Sukses menyusun buku “Tata Bahasa dan Kamus Baso Pelembang” tahun 2010 lalu bersama keluarga besarnya, Baderel kini berencana menerbitkan buku edisi kedua. Uniknya, pria berumur 66 tahun ini mendapatkan tambahan kosakata bagi buku terbarunya tersebut melalui jejaring sosial Facebook (FB).
Masyarakat Palembang memiliki darah Tionghoa? Bisa jadi hal ini benar adanya. Baderel Munir sendiri mengaku memiliki darah tersebut. Hal inipula membuat dirinya terkadang di panggil “koko” oleh orang-orang yang menyapanya ketika ia berjalan di pasar.
“Keponakan saya, wajahnya bener-bener seperti Chinese,” ujarnya kepada Sumeks Minggu, dibincangi Kamis (5/3) lalu.
Cerita Baderel, nenek moyangnya merupakan anak dari raja Dinasti Ming. Akibat kalah perang dengan dinasti Mangchu, nenek moyangnya terpaksa mundur ke sebuah pantai. Saat itulah, mereka bertemu Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) I yang kala itu tengah menimba ilmu pemerintahan di dinasti Ming.
Oleh SMB I, keturunan Dinasti Ming diajaknya ke Palembang. Mereka pun menikah dengan salah satu kerabat sultan, hingga keturunan mereka berasimilasi. Sebagai keturunan kedelapan anak raja Dinasti Ming, tetap saja Baderel dan keluarga lebih dekat dengan Palembang. Mereka pun tetap asli wong Pelembang.
Olah Hasil Karya Tulis Akademik Tahun 1971
Bukti nyata dukungan bagi wong Pelembang, Baderel bersama keluarga menerbiktan buku Tata Bahasa dan Kamus Baso Pelembang tahun 2010 lalu. Buku ini sebenarnya langkah penting menjaga bahasa asli Palembang. Meski kini bahasa gabungan antara Melayu serta Jawa, digunakan sejak Kerajaan Palembang hingga Kesultanan Palembang Darussalam, masih dikuasai orang-orang tua, itupun hanya segelintir.
Mereka diyakini merupakan generasi terakhir, menguasai bahasa tersebut, didapat dari orang-orang tua mereka. Anak-anak muda penguasa bahasa inipun tak lagi menguasai bahasa tersebut. Terkikis bahasa yang terus berkembang.
Dalam pandangan Baderel sendiri, suatu kebudayaan tidak dapat dipaksakan bertahan. Sejatinya, budaya selalu berkembang. Hanya saja, baso Pelembang, diyakininya dapat memperlihatkan jati diri wong Pelembang sebenarnya. Sebagai masyarakat ramah karena bahasa digunakan, lembut, halus dan sopan.
Bahasa ini jelas Baderel berawal ketika datangnya Ariodillah atau Ario Damar ke Palembang hingga berdirilah kerajaan Palembang, berkembang menjadi Kesultanan Palembang Darussalam. Bahasa Jawa dibawa Ariodilah bersama pengikutnya inilah bercampur dengan bahasa melayu, dulunya digunakan masyarakat Palembang.
Berangkat dari keprihatinan, mengangkat dan melestarikan kekayaan budaya Palembang, ditunjang sebuah karya tulis milik saudaranya, Nona Ayu Z Hafsah Amin BA dibuat tahun 1971 lalu, Baderel mengajak saudara-saudaranya menyusun kamus baso Pelembang.
“Karya tulis dibuat saudara saya itu kan dibuat tahun 1971. Membahas masalah baso Pelembang. Setelah lama hanya disimpan saja. Tahun 2000, saya sempat lihat dan mendapatkan ide, karya tulis ini bisa dibuat menjadi sebuah buku,” ungkap Baderel.
Bersama saudara-saudaranya, Drs Abdul Azim Amin MHum (Dosen Sastra Arab, Fakultas Adab IAIN Raden Fatah), Nona Ayu Maliha Amin SKM (Dosen Politeknik Kesehatan dan Pemandu Adat Perkawinan Palembang) serta Zuhdiyah A Malik Tadjuddin SAg Mag, buku Tata Bahasa serta Kamus Baso Palembang pun berhasil diterbitkan.
Penyusunan buku diungkapkan Baderel memang membutuhkan waktu cukup lama.Selain menambah kosata kata dengan dibantu saudaranya, sebelum ayahnya meninggal tahun 2002 lalu, Baderel banyak belajar dari sang ayah, almarhum M Amin.
Bahasa dikuasai Baderel serta saudaranya, dikatakan Baderel memang diajarkan oleh sang ayah. Bahkan, semasa hidup dan mengajari masyarakat mengaji, M Amin masih menggunakan bahasa tersebut.
Aplikasikan Baso Pelembang di Komunitas FB
Nah, dari 2.000 eksemplar buku Tata Bahasa dan Kamus Baso Pelembang, dicetak menggunakan uang pribadi tahun 2010 lalu, hingga kini sudah terjual hingga 1.300 eksemplar. Melihat cukup banyaknya peminat buku ini, Baderel pun menyiapkan diri menulis buku edisi kedua.
Yakni, dengan menambahkan 500 kosakata baru didapatnya. “Di buku terbitan pertama, sudah ada 3.000 kosakata. Nanti di buku edisi kedua, akan ditambahkan lagi sekitar 500 kata,” jelasnya.
Tambahan kosakata ini bisa saja bertambah. Pasalnya, Baderel menyatakan buku edisi kedua tersebut baru akan dirilis dua mendatang. Kini, ia masih memfokuskan diri menyiapkan penerbitan buku Six Dimension Organisation, dirilis bulan April tahun ini.
Tambahan kosakata baru ternyata didapat Baderel satu tahun terakhir. Itu setelah ia masuk di jejaring sosial, FB dan bergabung bersama komunitas pengguna baso Pelembang. Yakni, “Suaro Wong Kito” (Palembang) serta YAYASAN MADRASAH NAJAHIYAH.
Di situs inilah, seluruh wong Pelembang mencoba bebaso. Dari kalimat-kalimat terlontar di dinding FB tersebut, Baderel menambah kosakata baru. Suatu keuntungan memang. Selain dapat mempraktekan baso Plembang, Baderel mengaku mendapat pelajaran dari dunia maya tersebut. Karena sejatinya, cukup sulit menemukan orang-orang tua yang bisa diajak bicara secara langsung untuk mengaplikasikan baso Pelembang ini. (wwn)
Written by: samuji Selasa, 10 April 2012 12:29
SumeksMinggu.com