Minggu, 30 September 2012

Komplek Pemakaman Sabokingking



Dilalui Kapal Besar, Tempat Pertemuan Wali Serta Raja, Cukup banyak komplek pemakaman raja Palembang. Salah satu yang tertua dan cukup unik, komplek pemakaman Sabokingking, di kawasan I Ilir, Sungai Buah, Kecamatan Ilir Timur (IT) II.

Dari letaknya yang dikelilingi sungai, konon sebelum menjadi areal pemakaman, tempat ini merupakan tempat pertemuan. Para ulama serta raja Palembang. Wajar jika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Palembang menjadikan areal pemakaman Sabokingking menjadi objek wisata. Dari letaknya saja termasuk unik. Kawasan ini dikeliling perairan sungai. Yakni anak sungai Musi, sungai Buah.

Airnya pun hingga kini masih terjaga. Terlihat jernih, berbeda dengan anak-anak sungai Musi lain yang kebanyakan menghitam dan menimbulkan bau tidak sedap akibat sampah buangan masyarakat.

Keterangan juru kunci makam Sabokingking, Zulkifli Madinah, sebelum dinamakan dengan Sabokingking, nama tempat ini Istono Sobo. Yang berarti tempat pertemuan. Mereka yang sering melakukan pertemuan adalah ulama dan para wali.

Nama Istono Sobo berganti menjadi menjadi Sabokingking setelah para raja kerajaan Palembang ikut dalam pertemuan tersebut. Yang cukup mengejutkan, keterangan Ujang, sapaan akrab Zulkifli Madinah, para ulama serta raja itu pergi ke Sabokingking dengan menggunakan kapal-kapal besar.

Dilihat dari keadaan sungai Buah yang mengelilingi areal pemakaman saat ini, sulit dipercaya jika kapal-kapal besar dapat melalui sungai tersebut. Hanya saja, Ujang yang menggantikan ayahnya, Madinah Yahya sebagai juru kunci menyakini, pada abad ke 17, saat tempat tersebut digunakan sebagai tempat pertemuan, sungai Buah masih lebar dan dalam.

Bisa jadi, karena sejak dulu Palembang mendapat julukan Venesia dari Timur karena ratusan anak sungai Musi yang ada. Sehingga, para ulama berasal dari Yaman, Persia termasuk para raja yang istananya kala itu berada di kawasan PT Pusri dapat merapatkan kapal.

“Bukti kongkritnya, di daerah ini ada empat lorong yang dinamakan lorong Kemudi. Karena masyarakat pernah menemukan kemudi kapal besar di sungai,” jelasnya.

Era Ratu Sinuhun, Ciptakan UU Simbur Cahaya

Di dalam serta luar bangunan komplek, terdapat 41 makam. Di dalam, makam utamanya ialah makam Pangeran Ing Kenayan bersama istrinya Ratu Sinuhun serta Habib Muhammad Nuh yang merupakan guru besar dari Yaman dan menjadi penasehat kerajaan.

Makam lain, berada di tingkat bawah para hulubalang serta panglima Abdurahman. Nama yang satu ini, menurut Ujang selain sosok panglima perang juga merupakan ulama besar yang menyebarkan agama Islam di Palembang.

Pangeran Ing Kenayan serta Ratu Sinuhun sendiri berkuasa pada tahun 1622. Dilihat dari silsilah, termpampang di luar makam, antara Pangeran Ing Kenayan serta Ratu Sinuhun berada di satu garis keturunan. Mereka masih keturunan Ki Gede Ing Suro.

Ayah Ki Gede Ing Suro sendiri merupakan Sido Ing Lautan. Seorang bangsawan Jawa yang datang bersama pengikutnya ke Palembang pada abad ke 16. Kemudian ia digantikan oleh putranya yang bernama Ki Gede Ing Suro pada tahun 1552 dan mendirikan Kerajaan Palembang.

Pada masa pemerintahan Ratu Sinuhun sendiri, diyakini sebagai era diciptakanya UU Simbur Cahaya. Bahkan, Ratu Sinuhun inilah dikatakan sebagai pencipta UU tersebut. Yang mengatur masalah adat istiadat di Sumsel.

Berbagai masalah diatur dalam UU ini. Seperti adat bujang gadis dan perkawinan, marga dan aturan kaum, aturan dusun dan berladang, masalah pajak, serta hukuman. Pada masa penjajahan Belanda hingga kini pun, UU Simbur Cahaya masih digunakan.

“Salah satunya contohnya gotong royong. Istilah gotong royong itu berasal dari UU Simbur Cahaya,” ungkap Ujang.

Ratu Sinuhun sendiri kemudian dimakamkan di dekat suaminya, Pangeran Ing Kenayan yang lebih dulu meninggal. Setelah diikuti para pengikutnya.

Hingga kini banyak masyarakat dari berbagai penjuru berdatangan ke pemakaman ini. Untuk berziarah dan berdoa, meminta kepada Allah SWT melalui para ulama ini. Inilah yang menyebabkan masyarakat setempat terlihat banyak berjualan kembang untuk berziarah. Pengunjung lebih banyak pada Maulid Nabi dan bulan Suro.

“Bukan meminta kepada makam. Tapi melalui perantara ulama dan auliya’ ini. Doa itu kan lebih cepat dikabulkan jika melalui perantara orang yang dekat dengan Allah,” tandas Ujang. (wwn)

Written by: Samuji Selasa, 07 Juni 2011 11:25 | Sumeks Minggu

Makam Ki Gede Ing Suro, Jejak Awal Kerajaan Islam Palembang



Kompleks pemakaman kuno ini sekarang menjadi bagian dari jalur hijau (green barrier) PT Pusri. Di kompleks pemakaman yang masuk dalam wilayah administratif Kelurahan 1 Ilir, Kecamatan IT II Palembang, ini terdapat delapan bangunan dengan jumlah makam keseluruhan 38.

Salah satu tokoh yang dimakamkan di kompleks pemakaman yang dibangun sekitar pertengahan abad 16 ini adalah Ki Gede Ing Suro. Dialah pendiri kerajaan Islam Palembang, yang kemudian menjadi Kesultanan Palembang Darussalam.

Ki Gede Ing Suro adalah putra Ki Gede Ing Lautan, salah satu dari 24 bangsawan dari Demak yang menyingkir ke Palembang, setelah terjadi kekacauan di kerajaan Islam terbesar di pulau Jawa itu. Kekisruhan ini merupakan rangkaian panjang dari sejarah kerajaan terbesar di Nusantara, setelah Kerajaan Sriwijaya yaitu Kerajaan Majapahit.

Raden Fatah yang lahir di Palembang adalah putra Raja Majapahit terakhir, yaitu Brawijaya V. Raden Fatah lahir dari Putri China yang disebut Putri Champa, setelah istri Brawijaya itu dikirim ke Palembang dan diberikan kepada putra Brawijaya, Ariodamar atau Ario Abdillah atau Ario Dillah.

Setelah dewasa, Raden Fatah bersama Raden Kusen, putra Ario Dillah dengan Putri China dikirim kembali ke Majapahit. Oleh Brawijaya V, Raden Fatah diperintahkan untuk menetap di Demak atau Bintoro sedangkan adiknya lain bapak, Raden Kusen, diangkat sebagai Adipati di Terung.

Pada masa menjelang akhir abad XV ini, Islam di Pulau Jawa mulai kuat. Saat terjadi penyerbuan oleh orang Islam terhadap Majapahit, prajurit kerajaan Hindu itu kalah dan Raja Brawijaya V menyingkir hingga kemudian mangkat. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Majapahit.

Setelah keruntuhan Majapahit, Sunan Ngampel Denta (wali tertua dalam Walisongo) menetapkan Raden Fatah sebagai Raja Jawa menggantikan ayahnya. Tentu saja, dengan pemerintahan Islam.

Raden Fatah, dibantu para wali, kemudian memindahkan pusat kekuasaan dari Surabaya ke Demak sekaligus menyebarkan agama Islam di daerah ini. Atas bantuan penguasa dan rakyat di daerah yang sudah lepas dari Majapahit, antara lain Tuban, Gresik, Jepara, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1481 M.

Dia menjadi raja pertama dengan gelar Jimbun Ngabdur-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata Agama. Raden Fatah yang wafat sekitar tahun 1518 M, digantikan putranya, Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521 M.

Pengganti Pati Unus adalah Pangeran Trenggono (wafat tahun 1546 M). Wafatnya Sultan ketiga Demak ini merupakan awal dari kisruh berkepanjangan di kerajaan Islam yang sempat punya pengaruh besar di Nusantara itu. Tahta kerajaan menjadi rebutan antara saudara Trenggono dengan putranya.

Saudaranya, yang dikenal sebagai Pangeran Seda Ing Lepen dibunuh putra Trenggono, Pangeran Prawata. Prahara berlanjut dengan pembunuhan terhadap Prawata oleh Putra Seda Ing Lepen, Arya Penangsang atau Arya Jipang pada tahun 1549 M.

Menantu Trenggono, Pangeran Kalinyamat, juga dibunuh. Arya Penangsang akhirnya wafat dibunuh Adiwijaya. Menantu Trenggono yang terkenal sebagai Jaka Tingkir, Adipati penguasa Pajang ini kemudian memindahkan pusat kerajaan ke Pajang. Dengan demikian, berakhir pula kekuasaan Demak pada tahun 1546 M setelah berjaya selama 65 tahun.

Akibat kemelut itu, sebanyak 24 orang keturunan Sultan Trenggono (artinya, keturunan Raden Fatah) hijrah ke Palembang di bawah pimpinan Ki Gede Sido Ing Lautan. Setelah Ki Gede Sido Ing Lautan yang sempat berkuasa di Palembang wafat, digantikan putranya, Ki Gede Ing Suro. Karena raja ini tidak memiliki keturunan, dia digantikan saudaranya, Ki Gede Ing Suro Mudo.

Written by: Taufik Wijaya


Komplieks Makam Ki Gede Ing Suro


Kompleks Makam Ki Gede Ing Suro

Kamis, 13 September 2012

Penulis Kamus Baso Pelembang

Prof Drs Baderel Munir Amin MA
Prof Drs Baderel Munir Amin MA, Tambah Kosakata Via FB, Rancang Edisi Kedua

Pria ini asli Palembang. Meski 30 tahun terakhir ia telah tinggal di Ibukota Jakarta, tetap saja Prof Drs Baderel Munir Amin MA memperhatikan kebudayaan asli Palembang. Yakni, baso Pelembang yang kini dikuasai segelintir orang tua sebagai generasi terakhir. Sukses menyusun buku “Tata Bahasa dan Kamus Baso Pelembang” tahun 2010 lalu bersama keluarga besarnya, Baderel kini berencana menerbitkan buku edisi kedua. Uniknya, pria berumur 66 tahun ini mendapatkan tambahan kosakata bagi buku terbarunya tersebut melalui jejaring sosial Facebook (FB).

Masyarakat Palembang memiliki darah Tionghoa? Bisa jadi hal ini benar adanya. Baderel Munir sendiri mengaku memiliki darah tersebut. Hal inipula membuat dirinya terkadang di panggil “koko” oleh orang-orang yang menyapanya ketika ia berjalan di pasar.

“Keponakan saya, wajahnya bener-bener seperti Chinese,” ujarnya kepada Sumeks Minggu, dibincangi Kamis (5/3) lalu.

Cerita Baderel, nenek moyangnya merupakan anak dari raja Dinasti Ming. Akibat kalah perang dengan dinasti Mangchu, nenek moyangnya terpaksa mundur ke sebuah pantai. Saat itulah, mereka bertemu Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) I yang kala itu tengah menimba ilmu pemerintahan di dinasti Ming.

Oleh SMB I, keturunan Dinasti Ming diajaknya ke Palembang. Mereka pun menikah dengan salah satu kerabat sultan, hingga keturunan mereka berasimilasi. Sebagai keturunan kedelapan anak raja Dinasti Ming, tetap saja Baderel dan keluarga lebih dekat dengan Palembang. Mereka pun tetap asli wong Pelembang.

Olah Hasil Karya Tulis Akademik Tahun 1971
Bukti nyata dukungan bagi wong Pelembang, Baderel bersama keluarga menerbiktan buku Tata Bahasa dan Kamus Baso Pelembang tahun 2010 lalu. Buku ini sebenarnya langkah penting menjaga bahasa asli Palembang. Meski kini bahasa gabungan antara Melayu serta Jawa, digunakan sejak Kerajaan Palembang hingga Kesultanan Palembang Darussalam, masih dikuasai orang-orang tua, itupun hanya segelintir.

Mereka diyakini merupakan generasi terakhir, menguasai bahasa tersebut, didapat dari orang-orang tua mereka. Anak-anak muda penguasa bahasa inipun tak lagi menguasai bahasa tersebut. Terkikis bahasa yang terus berkembang.

Dalam pandangan Baderel sendiri, suatu kebudayaan tidak dapat dipaksakan bertahan. Sejatinya, budaya selalu berkembang. Hanya saja, baso Pelembang, diyakininya dapat memperlihatkan jati diri wong Pelembang sebenarnya. Sebagai masyarakat ramah karena bahasa digunakan, lembut, halus dan sopan.

Bahasa ini jelas Baderel berawal ketika datangnya Ariodillah atau Ario Damar ke Palembang hingga berdirilah kerajaan Palembang, berkembang menjadi Kesultanan Palembang Darussalam. Bahasa Jawa dibawa Ariodilah bersama pengikutnya inilah bercampur dengan bahasa melayu, dulunya digunakan masyarakat Palembang.

Berangkat dari keprihatinan, mengangkat dan melestarikan kekayaan budaya Palembang, ditunjang sebuah karya tulis milik saudaranya, Nona Ayu Z Hafsah Amin BA dibuat tahun 1971 lalu, Baderel mengajak saudara-saudaranya menyusun kamus baso Pelembang.

“Karya tulis dibuat saudara saya itu kan dibuat tahun 1971. Membahas masalah baso Pelembang. Setelah lama hanya disimpan saja. Tahun 2000, saya sempat lihat dan mendapatkan ide, karya tulis ini bisa dibuat menjadi sebuah buku,” ungkap Baderel.

Bersama saudara-saudaranya, Drs Abdul Azim Amin MHum (Dosen Sastra Arab, Fakultas Adab IAIN Raden Fatah), Nona Ayu Maliha Amin SKM (Dosen Politeknik Kesehatan dan Pemandu Adat Perkawinan Palembang) serta Zuhdiyah A Malik Tadjuddin SAg Mag, buku Tata Bahasa serta Kamus Baso Palembang pun berhasil diterbitkan.

Penyusunan buku diungkapkan Baderel memang membutuhkan waktu cukup lama.Selain menambah kosata kata dengan dibantu saudaranya, sebelum ayahnya meninggal tahun 2002 lalu, Baderel banyak belajar dari sang ayah, almarhum M Amin.

Bahasa dikuasai Baderel serta saudaranya, dikatakan Baderel memang diajarkan oleh sang ayah. Bahkan, semasa hidup dan mengajari masyarakat mengaji, M Amin masih menggunakan bahasa tersebut.

Aplikasikan Baso Pelembang di Komunitas FB
Nah, dari 2.000 eksemplar buku Tata Bahasa dan Kamus Baso Pelembang, dicetak menggunakan uang pribadi tahun 2010 lalu, hingga kini sudah terjual hingga 1.300 eksemplar. Melihat cukup banyaknya peminat buku ini, Baderel pun menyiapkan diri menulis buku edisi kedua.

Yakni, dengan menambahkan 500 kosakata baru didapatnya. “Di buku terbitan pertama, sudah ada 3.000 kosakata. Nanti di buku edisi kedua, akan ditambahkan lagi sekitar 500 kata,” jelasnya.

Tambahan kosakata ini bisa saja bertambah. Pasalnya, Baderel menyatakan buku edisi kedua tersebut baru akan dirilis dua mendatang. Kini, ia masih memfokuskan diri menyiapkan penerbitan buku Six Dimension Organisation, dirilis bulan April tahun ini.

Tambahan kosakata baru ternyata didapat Baderel satu tahun terakhir. Itu setelah ia masuk di jejaring sosial, FB dan bergabung bersama komunitas pengguna baso Pelembang. Yakni, “Suaro Wong Kito” (Palembang) serta YAYASAN MADRASAH NAJAHIYAH.

Di situs inilah, seluruh wong Pelembang mencoba bebaso. Dari kalimat-kalimat terlontar di dinding FB tersebut, Baderel menambah kosakata baru. Suatu keuntungan memang. Selain dapat mempraktekan baso Plembang, Baderel mengaku mendapat pelajaran dari dunia maya tersebut. Karena sejatinya, cukup sulit menemukan orang-orang tua yang bisa diajak bicara secara langsung untuk mengaplikasikan baso Pelembang ini. (wwn)

Written by: samuji Selasa, 10 April 2012 12:29
SumeksMinggu.com

Rabu, 12 September 2012

Menyibak Misteri “Antu Banyu”



Benarkah Ada Ataukah Sekedar Legenda?
Korban tewas di perairan sungai tak sedikit dikaitkan dengan unsur mistis. Umumnnya dikaitkan dengan antu banyu. Di kawasan Sumsel, sebutan tersebut sudah sangat familiar. Apakah sekedar tahayul atau benar adanya, banyak keluarga korban yang tewas tenggelam, kemudian memanggil pawang untuk menemukan jasad keluarga mereka. Lantas, seperti apa antu banyu acapkali disebut-sebut masyarakat tersebut? Berikut penelusuran Sumeks Minggu.

Sudah berapa banyak jenazah dievakuasinya dari perairan sungai? Ditanya begitu, Abdul Somad, akrab disapa Mang Kunung sempat terdiam. Bukannya binggung, warga Desa Pamulutan Ilir, Kecamatan Pamulutan, Indralaya ini kesulitan menghitungnya. “Sudah tak terhitung. Jumlahnya sudah ribuan,” jelasnya kepada Sumeks Minggu, ditemui dikediamannya, Kamis (4/7) lalu.

Mang Kunung merupakan satu dari beberapa pawang di Pamulutan, kerap dimintai bantuanya oleh masyarakat saat keluarga mereka tenggelam atau di makan buaya. Sebutan pawang buayo, melekat pada pria berumur 53 tahun ini.

Tidak hanya warga Pamulutan, di kawasan Ogan Ilir (OI), Palembang, OKI, Banyuasin serta Musi Banyuasin (Muba), Mang Kunung acap kali di panggil. Jika panggilan datang, pagi, siang ataupun malam, Mang Kunung pun mesti siap keluar. Prinsipnya, ia harus membantu, mencari jenazah warga yang tenggelam.

Diceritakan Mang Kunung, keahlian didapatnya berasal dari nenek moyangnya. Namun, ia baru mengetahuinya tahun 1980 lalu ketika ia berumur 23 tahun. Ketika warga tenggelam dan sulit ditemukan, ia mendapatkan bisikan gaib agar membantu.

Meski ragu, ia kemudian memberanikan terjun. Saat dirinya terjun ke dalam sungai, baru ia ketahui, terdapat kekuatan membantunya mencari jenazah. “Kadang di dalam air saya berenang melawan arus. Logikanya tidak bisa. Tapi itulah kenyataanya,” jelas Mang Kunung.

Nah, dari pengalamannya membantu menemukan jenazah warga tenggelam itulah, Mang Kudung mengetahui seputar seluk beluk antu banyu. “Tiap tahun, kejadian orang meninggal akibat tenggelam bisa ratusan. Hanya 25 persen bisa dikatakan meninggal akibat tenggelam. Lebihnya, bisa dikatakan akibat perbuatan antu banyu itu,” urainya.

Perbedaan jenazah tewas tenggelam dan digelayuti mistis antu banyu dikatakan Mang Kunung terlihat dari hidung jenazah ditemukan. Jika terus menggeluarkan darah, menurutnya itu akibat hisapan. Tak menggeluarkan darah, itu karena tenggelam biasa.

Warga yang tenggelam akibat tenggelam sendiri lanjut Mang Kunung tak lama bakal muncul di permukaan. Sebaliknya, jika lama tak muncul ke permukaan, itu karena tengah dalam pegangan sang mahluk halus.

Dari seluruh korban ditolong, umumnya anak-anak. Berkisar pada umur tujuh tahunan. Atau pasangan yang baru menikah atau wanita yang tengah hamil. “Orang-orang yang diambil itu, biasanya orang-orang yang pada umurnya benar-benar disayang,” jelasnya.

Apa yang terjadi pada korban ini, karena adanya kekosongan pikiran hingga mudah dimasuki mahluk halus. Ada juga, sejak bayi atau sejak kecil sudah ditandai (memiliki siung, red). “Kadang, korban sebelum meninggal kalau diingat memiliki kelainan. Kalau keluarga mengetahui, sebenarnya bisa dirias (diobati, red),” urainya.

Mahluk halus disebut antu banyu sendiri, bentuknya seperti monyet. Lebih kecil dengan rambut panjang hitam. Meski lebih mirip binatang, mahluk ini dikatakan Mang Kunung merupakan jelmaan iblis. Sedangkan iblis, berdasarkan sejarah, sejak Nabi Adam terus menggoda dan menyesatkan manusia.

Di sungai, mereka tinggal di cekukan atau gua. Biasanya ke permukaan di pangkalan-pangkalan tempat masyarakat mandi. “Mereka ada di sepanjang sungai. Jumlahnya banyak. Di kolam juga ada. Seperti kolam yang di Jakabaring,” jelas Mang Kunung.

Pun begitu, bagi masyarakat Sumsel masalah ini diakui Mang Kunung masih menjadi kontroversi. Banyak yang tidak mempercayai hal ini. Banyak juga menyakini hal tersebut sebagai hal lain. Ada yang mengatakannya sebagai perwujudan manusia berbentuk kera besar dan hendak mencari ilmu. Versi lain pun sangat beragam menjadi perbincangan masyarakat.

Meski sering muncul di permukaan, mahluk ini dikatakan Mang Kunung tak terlihat. Sulit sekali kasat mata warga bisa bertatapan langsung. Mereka tak mau terlihat, langsung nyemlung ke dalam air. Nah, untuk menangkal mahluk ini, Mang Kunung memberikan sedikit tips.

Pertama, menempatkan tempurung kelapa, berlubang akibat dimakan tupai. Tempurung kelapa tersebut diletakan diatas batang kayu kandis. Kedua, bahan sapu berwarna hitam (disebut dok, red) dicampur dengan besi, dilapisi kain, dilempar di aliran sungai tempat tinggal.

Bagi Mang Kunung, tiap tahun secara pribadi dia melakukan ritual. Menyembelih ayam, meminta kepada Yang Maha Kuasa agar korban-korban di sepanjang sungai tidak banyak. Entah apa hubungannya, tiap tahun juga Mang Kunung mengaku pergi ke dekat kawasan Muara Tungkal, Jambi.

Tempat tersebut merupakan perpaduan antara air laut dan air sungai. Di kawasan tersebut, menurut cerita Mang Kunung di tempat tersebut terdapat istana, ibarat ibukotanya mahluk gaib. Yang mengejutkan, tiap tahun dia diundang, sekedar melaporkan jumlah masyarakat yang tewas.

Sementara Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumsel, KH Sodikun saat di konfirmasi koran ini sempat tertawa mendengar istilah antu banyu. Namun dirinya tak menampik adanya mahluk gaib, baik di darat ataupun di air. Kepada masyarakat, Sodikun hanya menghimbau untuk memperbanyak dizikir serta bacaan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. (wwn)

Merasa Dikejar Antu Banyu
Entah sekedar sugesti atau benar adanya, salah seorang warga Lorong Selekta/Kangkung, Rt 24, Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu (SU) I sebut saja Emi (42) mengaku seperti dikejar antu banyu.

Perasaan ini diceritakan Emi timbul setelah dirinya melihat kejadian anak tetangganya, Natalia (9,5) yang tewas tenggelam di bawah jembatan Ampera, Sabtu 16 Juni lalu.

Menurut Emi, saat Natalia dikabarkan tenggelam sore hari, penduduk sudah ramai melakukan pencairan. Setelah beberapa jam tak membuahkan hasil, suaminya meminta bantuan pawang di kawasan Keramasan, Kertapati.

Hasilnya, setelah pawang tersebut datang, jenazah Natalia langsung timbul ke permukaan. Namun, saat evakuasi tersebut, Emi yang berada di pinggiran sungai merasa dicolek seseorang.

Saat itu, orang yang suaranya seperti laki-laki tersebut mengatakan agar Emi jangan dekat kearah sungai, nanti menjadi sasaran antu banyu. “Pas aku lihat ke belakang, orang yang colek itu dak ada lagi. Sejak itu, di rumah aku merasa banyak bau amis. Sempat telihat, ada binatang hitam kecil dengan mata merah masuk ke rumah. Aku kadang merinding. Sejak itu aku takut keluar rumah,” jelas Emi.

Emi merasa baikan, berani keluar rumah setelah berobat ke seorang pawang di kawasan Pamulutan. “Kalau nurut yang ngobati aku, antu banyu itu ibarat nyari sasaran. Karno suami aku manggil wong pinter, jadi jenazah Natalia cepat ditemuke,” tandasnya. (wwn)

(Kompol M Haris SH MH, Kasat Polair Polresta Palembang) Sesuai Prosedur, Gandeng Mitra
Pencarian warga yang tenggelam di perairan sungai, dijelaskan Kasat Polair Polresta Palembang, Kompol M Haris SH MH dilaksanakan sesuai prosedur. Pencairan dilakukan oleh anggota berdasarkan keahlian menyelam selama tujuh hari dan dapat diperpanjang jika memungkinkan.

Namun, pencarian di sungai Musi cukup menyulitkan. Dengan arus deras, air sungai Musi cenderung berlumpur membuat warna sungai kekuningan. Meski telah menggunakan penerang, tak banyak hal dapat dilihat oleh anggota.

Oleh sebab itu, sejak lama, Polair dikatakan M Haris menggandeng seorang mitra. “Namanya Pak Senen dan sudah lama menjadi mitra kita. Untuk menemukan jenazah, dia membantu murni masalah kemanusian,” jelas Haris.

Senen sendiri diakui Haris kadang dikatakan orang seorang pawang. Bagi Haris, mitra Polair tersebut dinilainya memiliki kemampuan alam lebih untuk menyelam dan memperkirakan posisi jenazah ketika terjadinya arus sungai.

“Kalau antu banyu itu legenda. Kita tidak mengkaitkannya ke sana. Kita kerja sesuai prosedur dan keahlian saja,” tukasnya. (wwn)

Written by: samuji Rabu, 11 Juli 2012 12:00
SumeksMinggu.com

Kamis, 19 Juli 2012

Bahasa Jawa, Arab, Melayu di Palembang

Keraton Kesultanan Palembang berkomunikasi dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Jawa, Arab, dan Melayu. Bahasa melayu hidup di kawasan ini jauh sebelum Kesultanan berdiri dan di yakini sebagai bahasa masyarakat asli. Tertulis dengan huruf pallawa, bahasa Melayu di gunakan dalam Prasasti Kedukan Bukit (682 M). Prasasti yang ditemukan ditepi Sungai Tatang, sebelah barat Kota Palembang, pada tahun 1920, menandai berdirinya Kerajaan Sriwijaya.

Berbagai temuan sejarah Kerajaan Sriwijaya, termasuk arca dan stupika, menunjukkan bahwa Sriwijaya menjalin kerjasama serta berkomunikasi erat dengan para saudagar dan pemuka agama dari China, India, dan Arab. Hal itu membuktikan bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan. Sriwijaya memiliki rentang wilayah kekuasaan yang luas, meliputi hampir seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka, dan Jawa. Setelah keruntuhan Sriwijaya, pada abad ke - 14, Palembang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Namun, kekuasaan Majapahit tidak mengakar dikawasan ini. Majapahit sendiri duguncang perang saudara, tak lama berekspansi ke pulau Sumatera. Palembang nyaris menjadi daerah tak bertuan, hingga kekuasaan baru di bangun Ki Gede Ing Suro bersama para pengikutnya. Kelompok bangsawan ini menyingkir ke Palembang, setelah kalah dalam perseteruan Kesultanan Demak di Jawa Tengah.

Kontinuitas kultural Jawa tertanam sebagai dasar legitimasi Keraton Palembang. Budayawan Palembang, Djohan Hanafiah mencatat, keterkaitan politik ini berakhir setelah Sultan Abdurrahman (1659-1706) memproklamasikan Kesultanan Palembang pada tahun 1675. Jeroen Peeteers dalam Kaum Tuo Kaum Mudo, perubahan religius Palembang 1821-1942 (1997) memaparkan, dikalangan Keraton, Bahasa Jawa Kromo (bahasa Jawa halus) menjadi bahasa resmi. Akan tetapi, pemakaian bahasa ini tidak tersebar luas diluar lingkungan Keraton Palembang.

Merujuk pada sejumlah naskah berbahasa Jawa yang tersimpan di Royal Asiatic Society, Londo, Peeteers menyakini naskah-naskah tersebut juga hanya beredar dilingkungan keraton. Beberapa naskah berbahasa Jawa ini antara lain Teks Panji (1801) yang ditulis atas perintah Sultan Ahmad Najamuddin. Kesultanan Palembang Darussalam menjadikan agama Islam sebagai dasar negara. Oleh karena itu, ulama mendapatkan penghormatan sangat tinggi Sultan yang berkuasa. Mujib Ali dalam tulisan Pemilihan Ulama Kesultanan Palembang (1997), mengungkapkan penelitiannya bahwa ulama Kesultanan yang mendampingi dan menjadi penasehat Sultan selalu dimakamkan ditempat, bilik, dan deretan yang sama dengan sultan.

Pada makam Kesultanan di Candi Walang, Palembang misalnya, makan susuhan abd 'I-Rahman Khalifat 'I Mukminin Sayyid 'I Imam diapit makam permaisuri dan dan makam Imam Sultan bernama Sayyid Mustafa Alaidrus dari negeri Yaman. Penataan serupa terdapat pula pada makam-makam Sultan yang lain di Kebon Gede, Kawah Tengkurep, dan Kampung 1 Ilir.

Selain didampingi ulama, Sultan juga memiliki juru tulis khusus untuk penulisan bahasa Arab. Bahasa dan tulisan Arab digunakan dalam kitab-kitab utama pengajaran Islam di Palembang, termasuk naskah yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir. Sebagian naskah-naskah keagamaan yang ditemukan, merupakan kitab yang langsung dibawa dari Arab. Sebagian lainnya disalin dengan ketelitian yang tinggi di Palembang.

Akan tetapi, seperti bahasa Jawa Kromo yang hanya di kuasai oleh kalangan bangsawan, bahasa Arab juga lebih dikuasai para guru atau kalangan ulama. Sejumlah naskah keagamaan menggunakan bahasa Arab dilengkapi dengan terjemahan bahasa Melayu, walaupun tetapdi tulis dengan huruf Arab. Naskah-naskah sastra, antara lain hikayat yang berbentuk prosa maupun syair, serta berbagai kisah dalam naskah-naskah pada masa Kesultanan lebih banyak ditulis dengan tulisan Arab dalam bahasa Melayu (Arab Melayu). Kegiatan surat-menyurat, antara laindari Gubernur Batavia juga ditemukan dalam bahasa Arab Melayu.

Djohan Hanafiah dalam bukunya Masjid Agung, Sejarah dan Masa Depan (1988) menyebutkan, Abdul Samud Al-Palembani (1704-1788) adalah salah satu penulis keagamaan yang paling menonjol pada masa Kesultanan. Palembani menuntut ilmu di Mekkah dan belajar tarikat pada Muhammad Al-Saman di Madinah. Sebagian karya Palembani ditulis ketika ia masih berada dinegeri Arab. Karya-karya Palembani antara lain, Hikayat Al-Salikin dan Syair Al-Salikin yang merupakan terjamahan karya Al-Ghazali. Disamping dua kitab berbahasa melayu tersebut, terdapat pula Zahrat al Murid fi bayan al Tauhid, dan lima kitab keagamaan lainnya dalam bahasa Arab.

Sebagian buku-buku Al-Palembani merupakan naskah yang masih tersimpan diberbagai perpustakaan, antara lain di Perpustakaan Museum Nasional Jakarta, Perpustakaan Universitas Leiden Belanda, dan Russian Institute of Oriental Studies di Leningrand Rusia. Mujib menjelaskan, naskah "favorit" Sultan Mahmud Badaruddin II yang ia temukan dalam penelitian adalah Mir'atu at Tulab karya Ar-Raniri. Penelitian pada kantor Deputi urusan Arkeologi inimenjelaskan, kitab ini berisikan pedoman pelaksanaan tata pemerintahan kesultanan.

KOMPAS

Sabtu, 30 Juni 2012

Legenda Si Pahit Lidah

Legenda Si Pahit Lidah


Tersebutlah kisah seorang pangeran dari daerah Sumidang bernama Serunting. Anak keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikhabarkan berseteru dengan iparnya yang bernama Aria Tebing. Sebab permusuhan ini adalah rasa iri-hati Serunting terhadap Aria Tebing.

Dikisahkan, mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan. Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang Aria tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna.

Perseteruan itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya (isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting.

Menurut kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi.

Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi mengembara.

Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Seperti yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit Lidah.

Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, "jadilah batu." Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu.

Namun, ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak.

Bukti Batu Gajah Di Pasemah akibat "Kutukan" Si Pahit Lidah

Legenda Si Pahit LidahNurhadi Rangkuti meraba-raba batu gajah sambil menjelaskan torehan gelang kaki pada wujud tokoh manusia yang memegang gajah, yang merupakan benda koleksi Museum Balaputradewa di Palembang.

Si Pahit Lidah sungguh sakti kata-katanya. Setiap serapah sumpah yang keluar dari mulutnya yang berlidah pahit kontan akan membuat benda yang dikutuk menjadi batu. Begitu kira-kira dongeng lisan masyarakat Pasemah di kawasan Lahat dan Pagar Alam di Sumatera Selatan.

Kesaktian tokoh suci folklorik itu menjadi salah satu hiasan info populer perihal banyaknya arca batu dan batu bertatahkan torehan bentuk manusia dan binatang.

Cerita rakyat itu hanya imbuhan karena para pakar arkeologi sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini masih terkagum- kagum dan takjub dengan adanya peninggalan budaya masa lampau, konon ditaksir sudah sejak beratus-ratus tahun silam.

Lokasi situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.

Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC Westernenk (1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik yang penuh serakan peninggalan arkeologi.

"Van den Hoop tercatat membawa batu bundar ini ke Palembang, sekitar tahun 1930-an tanpa penjelasan rinci," ujar Drs Nurhadi Rangkuti MSi (49), Kepala Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, akhir Februari lalu, saat menjelaskan batu besar berhiasan unik yang kini koleksi Museum Balaputradewa di kota Palembang.

Batu bundar macam telur besar pejal asal Kotoraya di Lahat mencolok sekali tatahan dan goresannya berbentuk gajah dan manusia. Perhatikan hiasan pahatannya, menggambarkan seorang manusia sedang menggapit seekor gajah. Tokoh itu mengenakan tutup kepala macam ketopong, telinganya mengenakan semacam anting dan mengenakan juga kalung leher. Kakinya mengenakan gelang kaki yang diduga berbahan logam. Di punggung manusia itu ada sebentuk nekara, tetapi wajahnya berbibir tebal, hidung pesek dan pendek, mata lonjong dan badannya terkesan bungkuk. Di pinggangnya terdapat senjata tajam, ujar Nurhadi yang mengaku belum pernah mengukur rinci besar dan bobot batu andesit itu.

"Dari ujung belalai sampai ke ekor gajahnya, sekitar 2,7 meter. Di balik relief gajah ini, ada pula bentuk seekor babi bertaring panjang dengan dua tokoh manusia."

Peninggalan tradisi megalitik itu amat terkenal di dunia kajian arkeologi karena, selain diduga dari masa prasejarah, tradisi batu besar itu pun berlanjut sampai kini. Bentuk peninggalan megalitik lainnya di wilayah Pasemah, selain batu gajah dan beberapa arca besar lainnya yang kini ada di Palembang, di Pagar Alam juga masih banyak peninggalan arkeologi berupa arca batu besar, alat-alat batu, tembikar, bilik batu dan menhir.

Khususnya di situs bilik batu, terdapat lukisan menggambarkan manusia sedang menggamit seekor kerbau dengan warna merah bata, hitam, dan kuning oker. Selain itu, juga ada lukisan aneka bentuk lukisan manusia, binatang, dan burung dengan kombinasi warna merah, kuning, putih, dan hitam.

"Seluruh peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa pada masa lampau di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal manusia, di daerah tepian sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian yang lebih sedikit maju ditemukan di daerah kaki Gunung Dempo di sekitar kota Pagar Alam sekarang. Di daerah ini ditemukan banyak sekali arca megalit dan bilik-bilik batu yang berhiaskan lukisan…," tulis arkeolog Bambang Budi Utomo.

Kompas

Legenda Raja Buaya

Lagenda Raja Buaya


Sumatera Selatan, sebagai daerah yang dipenuhi rawa-rawa dan dilewati banyak sungai, memiliki populasi yang cukup banyak dan penampakan buaya merupakan hal biasa. Bahkan di kalangan masyarakat dikenal pula ilmu buaya. Yakni ilmu hitam, yang mana pemiliknya akan berubah menjadi buaya kalau sudah meninggal dunia.

Di tepian Sungai Musi, Palembang, banyak legenda mengenai buaya yang diceritakan turun temurun, salah satunya legenda buaya putih. Beberapa tempat yang diyakini tempat munculnya buaya putih adalah di aliran Sungai Ogan, seperti di bawah jembatan Ogan, Kertapati, Palembang dan lokasi pedalaman sungai Ogan. Munculnya buaya putih ini diyakini selalu menjadi pertanda akan terjadi bencana besar di Sumsel atau di Indonesia.

Demikian juga warga di Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel. Mereka sangat percaya dengan legenda-legenda mengenai buaya. Sebagian besar warga Pemulutan percaya, nenek moyang mereka adalah buaya. Sebab ilmu buaya banyak dikuasai masyarakat Pemulutan dan ada yang menjadi pawang buaya. Banyak warga Pemulutan yang dapat berubah menjadi buaya jika masuk ke dalam sungai atau rawa. Ini adalah ilmu hitam yang biasanya dikuasai para bandit.

Di masyarakat Palembang juga ada kisah/legenda menarik dari abad ke-16. Saat itu raja Palembang bingung bagaimana mengatasi buaya-buaya yang berada di Sungai Musi. Buaya-buaya itu ganas dan dapat membuat warga terancam nyawanya. Lalu, sang raja mendatangkan seorang pawang buaya dari India. Dengan janji akan memberikan banyak hadiah, sang raja meminta si pawang menjinakkan buaya-buaya di sungai Musi. Buaya-buaya itu pun jinak. Si pawang pun menerima banyak hadiah.

Kemudian raja mengajak sang pawang ke daerah pedalaman yang banyak buayanya. Kembali pawang itu menaklukkan buaya-buaya menjadi jinak. “Coba kau buat buaya-buaya itu kembali menjadi ganas. Aku mau tahu bagaimana kehebatan ilmumu?” kata sang raja.

Pawang yang sudah mabuk pujian itu kemudian membuat buaya-buaya itu menjadi ganas. Ayam dan ternak yang dilempar ke sungai dengan cepat dimakan buaya. Dan, ketika si pawang lengah, seorang prajurit kerajaan Palembang mendorong pawang ke gerombolan buaya. Tak ayal si pawang itu mati dimakan buaya. Lokasi terbunuhnya pawang itu diperkirakan di pesisir timur Sumatera Selatan, seperti Pulaurimau, atau di kawasan Pemulutan.

Kalau pawang ini tidak dibunuh, saya khawatir dia dapat mempermainkan kita. Atau, kalau dia tidak senang dengan kita, buaya-buaya di sungai Musi dibuatnya menjadi ganas lagi, kata sang raja.Oleh karena itu, tidaklah heran, buaya di sungai Musi dengan buaya di daerah pedalaman Sumatra Selatan berbeda karakternya. Di sungai Musi tidak ada buaya yang bersifat ganas, meskipun saat ini sudah jarang terlihat, berbeda dengan daerah pedalaman yang terkenal dengan buayanya yang ganas-ganas.

Selasa, 26 Juni 2012

Goa Putri

Gua Putri

Kabupaten Ogan Komering Ulu sebagai salah satu tujuan wisata di Provinsi Sumatera Selatan mempunyai beberapa objek wisata diantaranya Goa Putri. Goa Putri terletak di desa Padang Bindu Kecamatan Semidang Aji yang berjarak sekitar 35 km dari Ibu Kota Kabupaten.

Goa Putri mempunyai kedalaman ± 150 m dengan lebar 8 – 20 m dimana didalamnya terdapat stalagmite dan stalagtit yang menyerupai tumpukan padi dan ranjang penganten, kembang dadar, pemandian putri, dan lain-lain.

Selain berfungsi sebagai objek wisata, Goa Putri juga sebagai wisata budaya dan dan histories. Menurut legenda Goa Putri terjadi karena Si Pahit Lidah yang menyumpah Putri Barlian menjadi Batu.

Goa Putri

Berdampingan dengan Goa Putri terdapat Goa Harimau, tempat ditemukannya situs kerangka manusia yang berumur ± 3.000 tahun yang lalu oleh Pusat Penelitian dan pengembangan Arkeologi Nasional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Goa ini terletak di desa Padang Bindu Kecamatan Semidang Aji yang berjarak ± 500 meter dari Goa Putri. Dari hasil penelitian Tim Arkeologi, di Goa ini ditemukan dua kerangka manusia yang masih utuh dan beberapa kerangka yang tidak utuh lagi, serta serpihan-serpihan bebatuan yang diduga sebagai peralatan yang digunakan mereka.

Selain itu pada dinding Goa Harimau terdapat beberapa gambar lukisan yang sampai sekarang masih diteliti.Goa Putri

Bahasa Melayu, Jejak Kebesaran Maritim Sumatera

Prasasti Kedukan BukitOleh: Mita

Bahasa Indonesia telah dicanangkan sebagai bahasa persatuan di Nusantara sejak Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang telah distandarisasi dan dimodifikasi.

Dari jaman dulu bahasa Melayu sudah menjadi bahasa yang umum di Nusantara. Bahasa Melayu merupakan bahasa resmi selain di Indonesia (sebagai bahasa Indonesia) juga di Malaysia (Bahasa Malaysia), Brunei (Melayu Brunei) dan Singapura (satu dari 4 bahasa resmi).

Bahasa ini merupakan bahasa asli (bahasa daerah) dari sekitar 40 juta orang sepanjang selat Malaka, termasuk didalamnya sepanjang pantai semenanjung Malaysia, Thailand selatan, propinsi Riau dan pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, pantai barat Serawak di Kalimantan.

Bahasa Melayu diyakini berasal dari pulau Sumatera. Melayu sendiri diyakini berupakan sebuah kerajaan kuno di Jambi yang nantinya tergabung kedalam Sriwijaya. Kata Melayu kabarnya berasal dari kata Malayur (Tamil) yang berarti kota diatas bukit.

Sebuah prasasti yang ditemukan di Tepian sungai Tatang (anak sungai Musi) Sumatera selatan pada tahun 1920 dan kini tersimpan di Musem Nasional menjadi bukti dari teori ini. Prasasti Kedukan Bukit yang berhuruf Pallawa (huruf Tamil kuno) merupakan prasasti tertua yang menggunakan bahasa Melayu kuno. Prasasti ini bertahun 605 saka atau thn 683 dan mengandung banyak kosakata sansekerta.

Srivijaya Empire Map
Kerajaan Sriwijaya abad ke 10 - 11 dan rute perdagangan jalur sutera

Teks kedukan bukit:

• Swasti Shri Shakawarsatita 605 ekadashi
• Shuklapaksa wulan Waishaka dapunta hiyang naik
• Disambau mangalap siddhayatra di Saptami Shuklapaksa
• Wulan Jyestha dapunta hiyang marlapas dari Minanga
• Tamvan (Tamvar?) mamawa jang bala dua laksa dangan (…)
• dua ratus tsyara disambau dangan jalan saribu
• Tlu ratus sapuloh dua banyaknya. Datang di Matajap (Mataya?)
• Sukhatshitta. Di pantshami shuklapaksa Wulan (…)
• Laghu mudik datang marwuat manua (…)
• Syriwijaya jayasiddhayatra subhiksa.

Terjemahan bahasa Indonesianya:

• Selamat dan Bahagia. Dalam Syaka 605
• Sebelas hari Bulan Waisyaka. Baginda naik kapal
• Mencari untungnya pada tujuh hari
• Bulan Jyestha, Baginda berlepas dari Muara
• Tamvan membawa bala dua laksa dengan (…)
• Dua ratus pawang di kapal dengan jalan seribu
• Tiga ratus sepuluh dua banyaknya. Datang di Matajap
• Sukacita. Di lima hari Bulan (…)
• Belayar mudik datang membuat benua (…)
• Srivijaya kota yang jaya, bahagia dan makmur.

Jalur perdagangan yang melintas dari China hingga Eropa dikenal sebagai jalur Sutera. Selat Malaka merupakan jalur yang dilalui pedagang dari China ke India melalui laut. Dari India jalur ini terus menuju Yaman ke laut Merah hingga ke Mesir. Dari Alexandria barang dagangan dibawa melalui laut tengah ke Eropa.

Jalur perdagangan yang melewati Selat Malaka ini menimbulkan kekayaan bagi kota-kota pelabuhan disepanjang selat Malaka. Sriwijaya sejak abad ke 7 sudah merajai selat ini. Pada masa keemasannya diabad ke 9 - 11 batas kekuasaannya meliputi Semenanjung Malaysia, selatan Thailand, sebelah timur dataran genting Kra, Maluku, Sulawesi, Filipina hingga ke Indrapura (Kamboja) di sungai Mekong.

Pengaruh Sriwijaya inilah yang dianggap sangat besar pengaruhnya dalam penyebaran bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan di pelabuhan-pelabuhan. Dominasi kerajaan maritim Sriwijaya ini diperkirakan berakhir pada abad ke 13.

Perahu Lancang Kuning
Model perahu dari Siak Indrapura

Hingga abad ke 15 bahasa Melayu semakin menyebar bersamaan dengan menyebarnya Islam. Kerajaan Islam di Pasai dan Malaka menyebarkan bahasa dan kebudayaan Melayu dan mempopulerkan huruf arab berbahasa Melayu, huruf Jawi. Huruf ini terus digunakan hingga akhir abad ke 19 ketika huruf latin mulai menggantikannya. Bahasa Melayu pada saat itu sudah digunakan sebagai bahasa perdagangan di kesultanan Malaka.

Ketika merdeka pada tahun 1945, Indonesia merupakan negara pertama yang menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia) sebagai bahasa resmi. Malaysia meresmikannya sebagai bahasa nasional yaitu bahasa Malaysia pada tahun 1957, sedangkan Brunei pada tahun 1959. Bahasa Indonesia banyak menyerap kata-kata dari bahasa Belanda, sedangkan bahasa Malaysia dari bahasa Inggris, walaupun bahasa Indonesia modern sekarang juga menyerap bahasa Inggris.

KOMPAS

Jumat, 01 Juni 2012

Guguk Jero Pager Plembang Lamo


Sering juga di sebut Tanggo Rajo
Lokasi : Kawasan 1 Ilir


DALAM sebuah perjalanan peninjauan dengan perahu kesultanan ke wilayah hilir Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo melihat sesuatu yang bercahaya. Sinar terang itu memancar dari gelapnya hutan di kawasan 1 Ilir.

Raja dari kesultanan Palembang ini memerintahkan hulubalangnya turun ke darat. Apa yang didapat Tampak olehnya dua gadis tengah mendenggung (menidurkan bayi dengan nyanyian) di buaian yang diikatkan pada galar rumah. Kedua gadis itu, Nyimas Naimah dan adiknya, Nyimas Perak, sedang menidurkan adik bungsu mereka, Kemas Jauddin. Cahaya yang memencar itu, bagi Sultan, merupakan sesuatu yang istimewa.

Benteng Kuto Gawang


Sketsa kraton Kuto gawang.
Lokasi : Kawasan PT. Pusri


Kesultanan Palembang dirintis oleh Ki Mas Anom Adipati Kiai Geding Suro bin Kiai Geding Ilir (1573-1590 M) dengan keraton sebagai pusat kekuasaan di Benteng Kuto Gawang (nama ini didapat setelah benteng itu dibakar Armada Perang VOC di bawah pimpinan Joan Van der Laan tahun 1659 M).

Keraton kini bekas tapaknya menjadi areal pabrik PT Pusri ini menjadi pusat pemerintahan Palembang meskipun dalam praktiknya masih dipengaruhi Jawa, mulai dari Demak hingga Mataram. Bedasarkan catatan, Benteng Kuto Gawang berukuran panjang 1.100 meter, lebar (1.100 meter) yang dikelilingi kayu unglen (Eusideroxylon zwageri T. & B.) setinggi 7,25 meter yang berbentuk balok dengan ketebalan 30 X 30 cm. Keraton Palembang di 1 Ilir atau Benteng Kuto Gawang (kini, sebagian kawasan yang tidak terkena proyek Pusri disebut sebagai Plembang Lamo) menunjukkan betapa jeniusnya pemprakarsa Kerajaan Palembang.

Kelenteng Soei Goiat Kiong



Lokasi : Kawasan 9/10 Ulu

Kelenteng ini terletak di kawasan Kelurahan 9/10 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I. Letaknya di tepi Sungai Aur dan berjarak sekitar 110 meter dari Sungai Musi. Rumah ibadah ini didbangun sekitar tahun 1839 M, sebagai pengganti kelenteng sebelumnya ?berlokasi di dekat rumah Kapiten Cina, 7 Ulu?yang terbakar habis, beberapa puluh tahun sebelumnya. Ruangan di dalam kelenteng terdiri atas tiga ruang peribadatan dan satu ruang pendeta.

Di dalam ruangan-ruangan ini, ditempatkan patung Kwan Im (Dewi Pengasih), Poo Sen (Dewa Pengobatan), dan Kwan Tun (Dewa Kesetiaan). Patung Kwan Im diletakkan di relung tengah, diapit kedua patung lainnya. Tegel yag dipakai untuk lantai kelenteng berwarna merah. Motif hiasannya adalah persegi delapan dengan gambar feng shui. Di dalam kelenteng, yaitu ruang paling timur bangunan belakang, terdapat tanah tumbuh. Seperti halnya Pulau Kemaro, tanah tumbuh ini diyakini sebagai makam seorang perempuan muslim bernama Fatimah. Ada kepercayaan, orang yang bersembahyang di ruang peribadatan ini tidak diperbolehkan menempatkan daging babi sebagai sesaji. Ruangan ini juga tidak boleh dimasuki anjing.

Keberadaan Kampung Kapitan dan sejarah masyarakat China di Palembang tidak dapat dilepaskan dari tempat ibadat Tri Dharma Chandra Nadi atau dalam bahasa Mandarin disebut Klenteng Soei Goeat Kiang. Klenteng yang dibangun di kawasan 10 Ulu pada tahun 1733, sebagai ganti klenteng di kawasan 7 Ulu yang terbakar setahun sebelumnya itu, menyimpan banyak cerita melalui berbagai masa.

Menurut Princeps, Sekretaris III Yayasan Dewi Pengasih Palembang, selaku pengelola klenteng Chandara Nadi, klenteng itu digunakan umat dari tiga agama dan kepercayaan untuk berdoa. Ketiga agama dan kepercayaan yang diakomodasi di klenteng ini adalah Buddha, Tao, dan Konghucu.

Memasuki Klenteng Chandra Nadi, aroma hio wangi langsung menusuk ke hidung. Hio-hio itu dipasang di altar Thien. Thien secara harfiah berarti ’langit’. Namun oleh sebagian penganut Konghucu dan Buddha, thien juga disebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa.

Melangkah masuk ke dalam, di altar Dewi Maco Po atau penguasa laut (juga disebut sebagai dewi yang menguasai setan dan iblis) dan altar Dewi Kwan Im atau penolong orang yang menderita sudah tersusun secara berurut. Di altar Dewi Maco Po sering diadakan upacara Cio Ko untuk meminta izin membuka pintu neraka agar dapat memberi makan kepada arwah yang kelaparan.

Setelah altar Dewi Kwan Im, para pengunjung klenteng dapat melihat altar Sakyamoni Buddha (Sidharta Buddha Gautama), altar Bodhisatva Maitreya (calon Buddha), altar Dewi Kwan Tee (pelindung dharma), altar Dewi Paw Sen Ta Tee atau dewi uang dan pemberi rezeki. Kemudian altar Dewi Chin Hua Niang Niang atau Dewi Mak Kun Do, altar Giam Lo Ong (raja neraka), dan altar Dewa Toa Pek Kong berbentuk macan.

Dewi Penyembuh
Bagi mereka yang percaya, Dewi Kwan Im di klenteng ini dapat dimintai tolong untuk penyembuhan penyakit. Menurut Princeps, ada seorang umat yang menderita kanker rahang dan berdoa ke Dewi Kwan Im, lalu umat itu minta obat kepada petugas klenteng.

Obat diberikan dengan cara mengocok sekumpulan batang bambu kecil yang diberi nomor. Nomor yang terambil akan ditulis di kertas semacam resep untuk ditukarkan dengan racikan obat di toko obat yang ditunjuk.

Menurut Princeps, obat itu ternyata manjur dan mampu menyembuhkan umat yang menderita kanker rahang.

Sementara di altar Dewi Mak Kun Do, biasanya, disinggahi para wanita untuk meminta anak. Riana, warga Kenten, Palembang mengatakan, dia berdoa di altar Mak Kun Do untuk meminta anak laki-laki karena ia sering mendengar banyak doa minta anak dikabulkan.

Salah satu keunikan klenteng itu adalah ramalan nasib. Seperti untuk mendapatkan kesembuhan, umat perlu bersembahyang lebih dahulu sebelum mengocok ramalan nasib. Ramalan itu terdapat di bambu kecil yang diberi nomor. Setiap nomor yang keluar dari tempatnya, akan diambil dan dicocokkan dengan buku petunjuk ramalan.

”Selain itu Klenteng Chandra Nadi memegang peranan penting dalam berbagai upacara keagamaan masyarakat Tionghoa. Pada zaman para kapitan masih memegang kendali, semua upacara hari raya besar, termasuk Imlek, diadakan di klenteng Chandra Nadi, dan diteruskan ke klenteng di Pulau Kemaro di Sungai Musi,” kata Princeps.

Bahkan, tradisi itu masih tetap diteruskan hingga sekarang. Masyarakat Tionghoa penganut Buddha, Tao, dan Konghucu, terutama yang mempunyai leluhur di Palembang selalu merayakan Imlek di Chandra Nadi dan dilanjutkan ke Pulau Kemaro.

Meskipun tetap berdiri utuh sampai sekarang, keberadaan klenteng Chandra Nadi bukan tanpa gangguan. Menurut Princeps, pada zaman Jepang, dua pesawat Jepang pernah mencoba mengebom klenteng itu karena dianggap sebagai basis gerakan bawah tanah masyarakat Tionghoa. Namun, tidak ada bom yang mengenai sasaran.

Pascatahun 1966, ketika kebencian terhadap masyarakat Tionghoa memuncak, sepertiga lahan klenteng diambil paksa untuk dijadikan Pasar 10 Ulu. Para pengurus klenteng tidak dapat berbuat apa-apa karena ada tekanan politik masa itu.

Ketika kerusuhan rasial pecah pada tahun 1998, massa juga sudah mulai bergerak untuk membakar klenteng tertua di Palembang itu. Namun, polisi dan masyarakat setempat berhasil menghadang gerakan massa sehingga mereka tidak sempat membakar apa pun.

Kini setelah 272 tahun berdiri, Klenteng Chandra Nadi tetap terbuka bagi setiap umatnya untuk beribadah. Sayang, jalan masuk ke klenteng itu melalui pasar tradisional yang kumuh dan macet sehingga turis akan kesulitan untuk mendatangi klenteng itu. (eca)

Kompas

Sabtu, 19 Mei 2012

Pesona Bumi Pasemah

Oleh: FLORENCIA MARCELINA RAMADHONA

Kota Pagaralam, Sumatra Selatan menyimpan sejuta panorama yang memanjakan mata. Tak pernah merasa cukup waktu untuk mengunjungi setiap tempat wisata dikota ini. Tak begitu besar memang kota ini, namun begitu banyak tempat wisata yang asik untuk dikunjungi.

Untuk wisatawan dari Palembang, bisa melaju ke Pagaralam dengan menggunakan jasa angkutan bus atau travel. Dengan mengeluarkan kocek 35 ribu anda sudah bisa sampai di Pagaralam dengan menggunakan bus yang berangkat dari terminal Karyajaya. Atau dengan menggunakan travel, anda harus mengeluarkan kocek berkisar 70-90 ribu. Setelah sampai di Pagaralam anda bisa menginap di villa yang terletak di kawasan pegunungan villa yang disewakan berkisar 200-450 ribu sesuai fasilitas yang ada.

Sebagai kota yang memiliki wisata air terjun terbanyak di Indonesia yang mencapai 30an air terjun, bisa dibilang sudah menjadi kewajiban bagi anda untuk mengunjungi salah satu air terjun nya bila berwisata disini.

Rabu, 07 Maret 2012

Sejarah Keraton Palembang: Sekilas Tentang Palembang

Oleh: DJOHAN HANAFIAH


Kota Palembang adalah sebuah kota tua di Nusantara, mempunyai sejarah panjang dalam khasanah budaya Nusantara. Sebuah nama yang paling banyak memberikan catatan, bahkan ilham dalam perkembangan sejarah dan kebudayaan di Nusantara. Meskipun nama ataupun toponim Palembang itu sendiri secara sederhana hanya menunjukkan suatu tempat (Pa yang berarti suatu kata awal menunjukkan tempat). Kosakata lembang berasal dari bahasa Melayu yang artinya: tanah yang rendah, tanah yang tertekan, akar yang membengkak dan lunak karena lama terendam dalam air, menetes atau kumparan air. Selanjutnya, dalam bahasa Melayu lembang berarti: tanah yang berlekuk, tanah yang menjadi dalam karena dilalui air, tanah yang rendah. Selain itu, ada pengertian lembang yang cukup menarik, yaitu: tidak tersusun rapi; berserak-serak.

Pengertian Pa-lembang adalah tempat yang berkumparan air, atau tanah yang berair dicatat pertama kali oleh pelapor Belanda tahun 1824 di dalam buku Proeve Eener Beschrivjing van het Gebied van Palembang. Diterbitkan oleh J. Oomkens, Groningen tahun 1843, dan penulis atau pelapor tersebut adalah W. L. de Sturler (pensiunan mayor tentara Belanda). Dengan demikian, pengertian orang-orang Palembang pada waktu itu tentang nama kotanya adalah ‘tempat yang tergenang air’. Gambaran topografi Palembang pada tahun 1990 tergambar jelas dalam angka statistik berikut ini (Kantor Statistik Kota Palembang):

Rumah Tradisional Limas

Rumah Limas merupakan prototipe rumah tradisional Palembang. Selain ditandai dengan atapnya yang berbentuk limas, rumah tradisional ini memiliki lantai bertingkat-tingkat yang disebut Bengkilas dan hanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga seperti hajatan. Para tamu biasanya diterima diteras atau lantai kedua.

Kebanyakan rumah limas luasnya mencapai 400 sampai 1000 meter persegi atau lebih, yang didirikan diatas tiang-tiang dari kayu unglen atau ulin yang kuat dari tanah dan air. Dinding, pintu dan lantai umumnya terbuat dari kayu tembesu. Sedang untuk rangka digunakan kayu seru. Setiap rumah terutama dinding dan pintu diberi ukiran.

Museum

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang

Di Palembang terdapat dua museum. Yaitu, museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang letaknya ditepi Sungai Musi dan dikelola oleh Pemerintah Kota Palembang. Lainnya adalah Museum Balaputra Dewa di Jl. Sudirmam Km 5,5 Palembang yang dibangun tahun 1978 dan dikelola Dinas Pendidikan Nasional.

Lebih Dekat Dengan Sumatera Selatan

Provinsi Sumatera Selatan merupakan suatu kawasan seluas 109.254 Kilometer persegi di pulau Sumatera dan terletak disebelah selatan garis khatulistiwa pada 1-4 derajat lintang selatan dan 102 - 108 bujur timur. Bagian daratan provinsi ini berbatas dengan provinsi Jambi, disebelah utara provinsi Lampung diselatan dan provinsi Bengkulu dibagian barat. Sedangkan bagian timur berbatas dengan provinsi Bangka-Belitung.

Sumatera Selatan dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya karena wilayah ini dalam abad ke-7 dan ke-12 Masehi merupakan pusat kerajaan maritim terbesar dan terkuat yang dipengaruhi sampai ke Formosa dan China di Asia serta Madagastar di Afrika.

Disamping itu Sumatera Selatan sering pula disebut daerah Batanghari Sembilan, karena di kawasan ini terdapat sembilan sungai besar yang dapat dilayari hingga jauh ke hulu, yakni:

* Sungai Musi
* Sungai Ogan
* Sungai Komering
* Sungai Lematang
* Sungai Kelingi
* Sungai Rawas
* Batanghari Leko
* Sungai Lalan, Serta puluhan cabang-cabangnya.

Mengenal Adat Istiadat Palembang (Baso Palembang Alus/Bebaso)

Sebagai salah satu kekayaan budaya Palembang dan sebagai jati diri Wong Kito (Melayu-Palembang), Baso Pelembang Alus (Bebaso) saat ini sudah hampir punah. Untuk itu perlu adanya usaha pelestarian dan mendokumentasikannya sebagai wujud kepedulian kita, diantaranya dengan mengadakan kursus atau menerbitkan buku kamur. Pepatah mengengatakan : "Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta."
Untuk menumbuhkan rasa sayang dan cinta kepada Kota Palembang, terlebih dahulu kita harus mengenal sejarah dan budaya Palembang, termasuk dalam hal bahasa. Asal-usul Baso Pelembang Alus hampir menyerupai bahasa Jawa, oleh sebab itu banyak orang berasumsi bahwa bahasa Palembang berasal dari Jawa. Namun pada dasarnya tidaklah demikian, bahkan sebaliknya, identitas Palembang sebagai korabolasi dari kebudayaan Melayu-Jawa terlepas dari sejarah Palembang itu sendiri. Menurut sumber sejarah lokal, Kesultanan Palembang muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan erat dengan kerajaan-kerajaan besar dipulau Jawa. Seperti Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Palembang (Melayu-Sriwijaya) pada masa lalu adalah cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan dipulau Jawa.

Senin, 05 Maret 2012

Sekilas Tari Gending Sriwijaya dan Tari Tanggai

Gending Sriwijaya merupakan tari spesifik masyarakat Sumatera Selatan untuk menyambut tamu istimewa yang berkunjung ke daerah ini, seperti kepala negara, kepala-kepala negara sahabat, duta-duta besar atau yang setara itu. Tari tradisional ini berasal dari masa Kerajaan Sriwijaya. Tarian yang khas ini mencerminkan sikap tuan rumah yang ramah, gembira dan bahagia, tulus terbuka terhadap tamu yang istimewa itu. Tarian digelarkan 9 penari muda dan cantik-cantik yang berbusana Adat Aesan Gede, Selendang Mantri, Paksangkong, Dodot dan Tanggai.