Jumat, 01 Juni 2012

Benteng Kuto Gawang

Share on :


Sketsa kraton Kuto gawang.
Lokasi : Kawasan PT. Pusri


Kesultanan Palembang dirintis oleh Ki Mas Anom Adipati Kiai Geding Suro bin Kiai Geding Ilir (1573-1590 M) dengan keraton sebagai pusat kekuasaan di Benteng Kuto Gawang (nama ini didapat setelah benteng itu dibakar Armada Perang VOC di bawah pimpinan Joan Van der Laan tahun 1659 M).

Keraton kini bekas tapaknya menjadi areal pabrik PT Pusri ini menjadi pusat pemerintahan Palembang meskipun dalam praktiknya masih dipengaruhi Jawa, mulai dari Demak hingga Mataram. Bedasarkan catatan, Benteng Kuto Gawang berukuran panjang 1.100 meter, lebar (1.100 meter) yang dikelilingi kayu unglen (Eusideroxylon zwageri T. & B.) setinggi 7,25 meter yang berbentuk balok dengan ketebalan 30 X 30 cm. Keraton Palembang di 1 Ilir atau Benteng Kuto Gawang (kini, sebagian kawasan yang tidak terkena proyek Pusri disebut sebagai Plembang Lamo) menunjukkan betapa jeniusnya pemprakarsa Kerajaan Palembang.

Ini dapat dilihat dari posisi benteng yang melindungi keraton beserta perumahan penduduk. Selain bahan yang dipakai sebagai pagar, kejeniusan itu juga tampak pada pemilihan lokasi. Benteng ini diapit Sungai Buah dan Sungai Taligawe (ada yang menyebutnya Sungai Lintah).

Uniknya lagi, Sungai Rengas, anak Sungai Musi yang terletak di antara kedua sungai itu dijadikan pintu masuk utama ke dalam benteng. Ketegangan pertama Kerajaan Palembang dengan Belanda, terjadi pada tahun 1658, yaitu pada masa pemerintahan Pangeran Sido Ing Rejek Ratu Mangkurat Jamaluddin (1652-1659).

Pada tahun itu, VOC mengirim Cornelis Ockerz ke Palembang dengan armada laut, yang dua di antaranya merupakan kapal berukuran besar, yaitu Jacatra dan de Wachter. Kedatangannya untuk memenuhi kontrak dagang terutama timah dan lada dengan Kerajaan Palembang. Kedatangan kapal VOC ini disambut dengan serbuan oleh Kerajaan Palembang.

Ockerz dan 42 orang Belanda terbunuh dan 24 orang lainnya ditawan. Sementara Jacatra dan de Wachter direbut dan dikuasai. Menurut catatan sejarah, penyerangan yang dipimpin Ki Mas Hindi Pangeran Ario Kesumo Abdurrahim ini disulut ketidaksukaan rakyat Palembang terhadap Belanda yang dinilai selalu berlaku curang dan arogan.

Atas serbuan, yang dinilai VOC sebagai tindakan biadab itu, setahun kemudian, 10 November 1659, satu armada perang Belanda di bawah pimpinan Commandeur Joan vander Laan menyerang Palembang. Setelah terjadi pertempuran sengit, Palembang dikalahkan. Selama tiga hari, mulai 24 November, Keraton Palembang dibakar.

Perang Kuto Gawang Desember 1658
Perang Kuto Gawang Desember 1658

Kuto Gawang Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari Kesultanan Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Pada masa ini pusat pemerintahan di daerah sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro (Kemaro), sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi.

Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang yang bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batangnya. Kota berbenteng yang di kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan Portugis berdiam berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi.

Kota berbenteng ini sebagaimana dilukiskan pada tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya ber¬batasan dengan Sungai Buah. Dalam gambar sketsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi dan kayu unglen.

Di tengah benteng keraton tampak berdiri megah bangunan keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing ditempatkan/bermukim di seberang sungai sisi selatan Musi, di sebelah barat muara sungai Komering (sekarang daerah Seberang Ulu, Plaju).

Pembakaran Kuto Gawang



Benteng kuto Gawang di Bakar 1959
Benteng kuto Gawang di Bakar 1959
Benteng Kuto Gawang
Pembakaran Benteng Kuto Gawang 1659


Selama dua abad masa kesultanan, keraton sultan berpindah beberapa kali. Kesultanan mula-mula berpusat di kawasan Plaju, dinamai Kuto Gawang. Djohan Hanafiah menjelaskan Kuto Gawang sebagai kota yang dilindungi pagar dinding berstruktur kayu.

Perlawanan Palembang kepada VOC atas kecurangan perusahaan dagang Belanda itu dalam perdagangan timah dan lada berujung pada pengusiran dan pembongkaran loji Belanda di Sungai Aur atas perintah Sultan Mahmud Badaruddin II pada tahun 1811. Perlawanan itu berujung pada penyerangan keraton.

Pada masa pemerintahan sido ing rejek terjadi peperangan melawan belanda (VOC) tahun 1659, pihak belanda berhasil memenangkan peperangan dan membumi hanguskan benteng kuto gawang sehingga rata dengan tanah dan selanjutnya pangeran sido ing rejek menyingkir ke pedalaman.

Pada bulan desember 1958 terjadi pertempuran di kuto gawang di karenakan kecurangan pihak belanda dalam kotraknya yang menyebabkan kemarahan di pihak rakyat. Pertempuran ini di pimpin oleh pangeran ario kusuma abdul rohim kiyai emas endi dengan di Bantu oleh putri ratu emas tumenggung bagus kuning pengkulu, pangeran mangku bumi, nembing kapal dan kiayi demang kecek.

www.palembang.go.id

0 komentar:

Posting Komentar