Minggu, 30 September 2012

Komplek Pemakaman Sabokingking



Dilalui Kapal Besar, Tempat Pertemuan Wali Serta Raja, Cukup banyak komplek pemakaman raja Palembang. Salah satu yang tertua dan cukup unik, komplek pemakaman Sabokingking, di kawasan I Ilir, Sungai Buah, Kecamatan Ilir Timur (IT) II.

Dari letaknya yang dikelilingi sungai, konon sebelum menjadi areal pemakaman, tempat ini merupakan tempat pertemuan. Para ulama serta raja Palembang. Wajar jika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Palembang menjadikan areal pemakaman Sabokingking menjadi objek wisata. Dari letaknya saja termasuk unik. Kawasan ini dikeliling perairan sungai. Yakni anak sungai Musi, sungai Buah.

Airnya pun hingga kini masih terjaga. Terlihat jernih, berbeda dengan anak-anak sungai Musi lain yang kebanyakan menghitam dan menimbulkan bau tidak sedap akibat sampah buangan masyarakat.

Keterangan juru kunci makam Sabokingking, Zulkifli Madinah, sebelum dinamakan dengan Sabokingking, nama tempat ini Istono Sobo. Yang berarti tempat pertemuan. Mereka yang sering melakukan pertemuan adalah ulama dan para wali.

Nama Istono Sobo berganti menjadi menjadi Sabokingking setelah para raja kerajaan Palembang ikut dalam pertemuan tersebut. Yang cukup mengejutkan, keterangan Ujang, sapaan akrab Zulkifli Madinah, para ulama serta raja itu pergi ke Sabokingking dengan menggunakan kapal-kapal besar.

Dilihat dari keadaan sungai Buah yang mengelilingi areal pemakaman saat ini, sulit dipercaya jika kapal-kapal besar dapat melalui sungai tersebut. Hanya saja, Ujang yang menggantikan ayahnya, Madinah Yahya sebagai juru kunci menyakini, pada abad ke 17, saat tempat tersebut digunakan sebagai tempat pertemuan, sungai Buah masih lebar dan dalam.

Bisa jadi, karena sejak dulu Palembang mendapat julukan Venesia dari Timur karena ratusan anak sungai Musi yang ada. Sehingga, para ulama berasal dari Yaman, Persia termasuk para raja yang istananya kala itu berada di kawasan PT Pusri dapat merapatkan kapal.

“Bukti kongkritnya, di daerah ini ada empat lorong yang dinamakan lorong Kemudi. Karena masyarakat pernah menemukan kemudi kapal besar di sungai,” jelasnya.

Era Ratu Sinuhun, Ciptakan UU Simbur Cahaya

Di dalam serta luar bangunan komplek, terdapat 41 makam. Di dalam, makam utamanya ialah makam Pangeran Ing Kenayan bersama istrinya Ratu Sinuhun serta Habib Muhammad Nuh yang merupakan guru besar dari Yaman dan menjadi penasehat kerajaan.

Makam lain, berada di tingkat bawah para hulubalang serta panglima Abdurahman. Nama yang satu ini, menurut Ujang selain sosok panglima perang juga merupakan ulama besar yang menyebarkan agama Islam di Palembang.

Pangeran Ing Kenayan serta Ratu Sinuhun sendiri berkuasa pada tahun 1622. Dilihat dari silsilah, termpampang di luar makam, antara Pangeran Ing Kenayan serta Ratu Sinuhun berada di satu garis keturunan. Mereka masih keturunan Ki Gede Ing Suro.

Ayah Ki Gede Ing Suro sendiri merupakan Sido Ing Lautan. Seorang bangsawan Jawa yang datang bersama pengikutnya ke Palembang pada abad ke 16. Kemudian ia digantikan oleh putranya yang bernama Ki Gede Ing Suro pada tahun 1552 dan mendirikan Kerajaan Palembang.

Pada masa pemerintahan Ratu Sinuhun sendiri, diyakini sebagai era diciptakanya UU Simbur Cahaya. Bahkan, Ratu Sinuhun inilah dikatakan sebagai pencipta UU tersebut. Yang mengatur masalah adat istiadat di Sumsel.

Berbagai masalah diatur dalam UU ini. Seperti adat bujang gadis dan perkawinan, marga dan aturan kaum, aturan dusun dan berladang, masalah pajak, serta hukuman. Pada masa penjajahan Belanda hingga kini pun, UU Simbur Cahaya masih digunakan.

“Salah satunya contohnya gotong royong. Istilah gotong royong itu berasal dari UU Simbur Cahaya,” ungkap Ujang.

Ratu Sinuhun sendiri kemudian dimakamkan di dekat suaminya, Pangeran Ing Kenayan yang lebih dulu meninggal. Setelah diikuti para pengikutnya.

Hingga kini banyak masyarakat dari berbagai penjuru berdatangan ke pemakaman ini. Untuk berziarah dan berdoa, meminta kepada Allah SWT melalui para ulama ini. Inilah yang menyebabkan masyarakat setempat terlihat banyak berjualan kembang untuk berziarah. Pengunjung lebih banyak pada Maulid Nabi dan bulan Suro.

“Bukan meminta kepada makam. Tapi melalui perantara ulama dan auliya’ ini. Doa itu kan lebih cepat dikabulkan jika melalui perantara orang yang dekat dengan Allah,” tandas Ujang. (wwn)

Written by: Samuji Selasa, 07 Juni 2011 11:25 | Sumeks Minggu

Makam Ki Gede Ing Suro, Jejak Awal Kerajaan Islam Palembang



Kompleks pemakaman kuno ini sekarang menjadi bagian dari jalur hijau (green barrier) PT Pusri. Di kompleks pemakaman yang masuk dalam wilayah administratif Kelurahan 1 Ilir, Kecamatan IT II Palembang, ini terdapat delapan bangunan dengan jumlah makam keseluruhan 38.

Salah satu tokoh yang dimakamkan di kompleks pemakaman yang dibangun sekitar pertengahan abad 16 ini adalah Ki Gede Ing Suro. Dialah pendiri kerajaan Islam Palembang, yang kemudian menjadi Kesultanan Palembang Darussalam.

Ki Gede Ing Suro adalah putra Ki Gede Ing Lautan, salah satu dari 24 bangsawan dari Demak yang menyingkir ke Palembang, setelah terjadi kekacauan di kerajaan Islam terbesar di pulau Jawa itu. Kekisruhan ini merupakan rangkaian panjang dari sejarah kerajaan terbesar di Nusantara, setelah Kerajaan Sriwijaya yaitu Kerajaan Majapahit.

Raden Fatah yang lahir di Palembang adalah putra Raja Majapahit terakhir, yaitu Brawijaya V. Raden Fatah lahir dari Putri China yang disebut Putri Champa, setelah istri Brawijaya itu dikirim ke Palembang dan diberikan kepada putra Brawijaya, Ariodamar atau Ario Abdillah atau Ario Dillah.

Setelah dewasa, Raden Fatah bersama Raden Kusen, putra Ario Dillah dengan Putri China dikirim kembali ke Majapahit. Oleh Brawijaya V, Raden Fatah diperintahkan untuk menetap di Demak atau Bintoro sedangkan adiknya lain bapak, Raden Kusen, diangkat sebagai Adipati di Terung.

Pada masa menjelang akhir abad XV ini, Islam di Pulau Jawa mulai kuat. Saat terjadi penyerbuan oleh orang Islam terhadap Majapahit, prajurit kerajaan Hindu itu kalah dan Raja Brawijaya V menyingkir hingga kemudian mangkat. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Majapahit.

Setelah keruntuhan Majapahit, Sunan Ngampel Denta (wali tertua dalam Walisongo) menetapkan Raden Fatah sebagai Raja Jawa menggantikan ayahnya. Tentu saja, dengan pemerintahan Islam.

Raden Fatah, dibantu para wali, kemudian memindahkan pusat kekuasaan dari Surabaya ke Demak sekaligus menyebarkan agama Islam di daerah ini. Atas bantuan penguasa dan rakyat di daerah yang sudah lepas dari Majapahit, antara lain Tuban, Gresik, Jepara, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1481 M.

Dia menjadi raja pertama dengan gelar Jimbun Ngabdur-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata Agama. Raden Fatah yang wafat sekitar tahun 1518 M, digantikan putranya, Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521 M.

Pengganti Pati Unus adalah Pangeran Trenggono (wafat tahun 1546 M). Wafatnya Sultan ketiga Demak ini merupakan awal dari kisruh berkepanjangan di kerajaan Islam yang sempat punya pengaruh besar di Nusantara itu. Tahta kerajaan menjadi rebutan antara saudara Trenggono dengan putranya.

Saudaranya, yang dikenal sebagai Pangeran Seda Ing Lepen dibunuh putra Trenggono, Pangeran Prawata. Prahara berlanjut dengan pembunuhan terhadap Prawata oleh Putra Seda Ing Lepen, Arya Penangsang atau Arya Jipang pada tahun 1549 M.

Menantu Trenggono, Pangeran Kalinyamat, juga dibunuh. Arya Penangsang akhirnya wafat dibunuh Adiwijaya. Menantu Trenggono yang terkenal sebagai Jaka Tingkir, Adipati penguasa Pajang ini kemudian memindahkan pusat kerajaan ke Pajang. Dengan demikian, berakhir pula kekuasaan Demak pada tahun 1546 M setelah berjaya selama 65 tahun.

Akibat kemelut itu, sebanyak 24 orang keturunan Sultan Trenggono (artinya, keturunan Raden Fatah) hijrah ke Palembang di bawah pimpinan Ki Gede Sido Ing Lautan. Setelah Ki Gede Sido Ing Lautan yang sempat berkuasa di Palembang wafat, digantikan putranya, Ki Gede Ing Suro. Karena raja ini tidak memiliki keturunan, dia digantikan saudaranya, Ki Gede Ing Suro Mudo.

Written by: Taufik Wijaya


Komplieks Makam Ki Gede Ing Suro


Kompleks Makam Ki Gede Ing Suro

Kamis, 13 September 2012

Penulis Kamus Baso Pelembang

Prof Drs Baderel Munir Amin MA
Prof Drs Baderel Munir Amin MA, Tambah Kosakata Via FB, Rancang Edisi Kedua

Pria ini asli Palembang. Meski 30 tahun terakhir ia telah tinggal di Ibukota Jakarta, tetap saja Prof Drs Baderel Munir Amin MA memperhatikan kebudayaan asli Palembang. Yakni, baso Pelembang yang kini dikuasai segelintir orang tua sebagai generasi terakhir. Sukses menyusun buku “Tata Bahasa dan Kamus Baso Pelembang” tahun 2010 lalu bersama keluarga besarnya, Baderel kini berencana menerbitkan buku edisi kedua. Uniknya, pria berumur 66 tahun ini mendapatkan tambahan kosakata bagi buku terbarunya tersebut melalui jejaring sosial Facebook (FB).

Masyarakat Palembang memiliki darah Tionghoa? Bisa jadi hal ini benar adanya. Baderel Munir sendiri mengaku memiliki darah tersebut. Hal inipula membuat dirinya terkadang di panggil “koko” oleh orang-orang yang menyapanya ketika ia berjalan di pasar.

“Keponakan saya, wajahnya bener-bener seperti Chinese,” ujarnya kepada Sumeks Minggu, dibincangi Kamis (5/3) lalu.

Cerita Baderel, nenek moyangnya merupakan anak dari raja Dinasti Ming. Akibat kalah perang dengan dinasti Mangchu, nenek moyangnya terpaksa mundur ke sebuah pantai. Saat itulah, mereka bertemu Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) I yang kala itu tengah menimba ilmu pemerintahan di dinasti Ming.

Oleh SMB I, keturunan Dinasti Ming diajaknya ke Palembang. Mereka pun menikah dengan salah satu kerabat sultan, hingga keturunan mereka berasimilasi. Sebagai keturunan kedelapan anak raja Dinasti Ming, tetap saja Baderel dan keluarga lebih dekat dengan Palembang. Mereka pun tetap asli wong Pelembang.

Olah Hasil Karya Tulis Akademik Tahun 1971
Bukti nyata dukungan bagi wong Pelembang, Baderel bersama keluarga menerbiktan buku Tata Bahasa dan Kamus Baso Pelembang tahun 2010 lalu. Buku ini sebenarnya langkah penting menjaga bahasa asli Palembang. Meski kini bahasa gabungan antara Melayu serta Jawa, digunakan sejak Kerajaan Palembang hingga Kesultanan Palembang Darussalam, masih dikuasai orang-orang tua, itupun hanya segelintir.

Mereka diyakini merupakan generasi terakhir, menguasai bahasa tersebut, didapat dari orang-orang tua mereka. Anak-anak muda penguasa bahasa inipun tak lagi menguasai bahasa tersebut. Terkikis bahasa yang terus berkembang.

Dalam pandangan Baderel sendiri, suatu kebudayaan tidak dapat dipaksakan bertahan. Sejatinya, budaya selalu berkembang. Hanya saja, baso Pelembang, diyakininya dapat memperlihatkan jati diri wong Pelembang sebenarnya. Sebagai masyarakat ramah karena bahasa digunakan, lembut, halus dan sopan.

Bahasa ini jelas Baderel berawal ketika datangnya Ariodillah atau Ario Damar ke Palembang hingga berdirilah kerajaan Palembang, berkembang menjadi Kesultanan Palembang Darussalam. Bahasa Jawa dibawa Ariodilah bersama pengikutnya inilah bercampur dengan bahasa melayu, dulunya digunakan masyarakat Palembang.

Berangkat dari keprihatinan, mengangkat dan melestarikan kekayaan budaya Palembang, ditunjang sebuah karya tulis milik saudaranya, Nona Ayu Z Hafsah Amin BA dibuat tahun 1971 lalu, Baderel mengajak saudara-saudaranya menyusun kamus baso Pelembang.

“Karya tulis dibuat saudara saya itu kan dibuat tahun 1971. Membahas masalah baso Pelembang. Setelah lama hanya disimpan saja. Tahun 2000, saya sempat lihat dan mendapatkan ide, karya tulis ini bisa dibuat menjadi sebuah buku,” ungkap Baderel.

Bersama saudara-saudaranya, Drs Abdul Azim Amin MHum (Dosen Sastra Arab, Fakultas Adab IAIN Raden Fatah), Nona Ayu Maliha Amin SKM (Dosen Politeknik Kesehatan dan Pemandu Adat Perkawinan Palembang) serta Zuhdiyah A Malik Tadjuddin SAg Mag, buku Tata Bahasa serta Kamus Baso Palembang pun berhasil diterbitkan.

Penyusunan buku diungkapkan Baderel memang membutuhkan waktu cukup lama.Selain menambah kosata kata dengan dibantu saudaranya, sebelum ayahnya meninggal tahun 2002 lalu, Baderel banyak belajar dari sang ayah, almarhum M Amin.

Bahasa dikuasai Baderel serta saudaranya, dikatakan Baderel memang diajarkan oleh sang ayah. Bahkan, semasa hidup dan mengajari masyarakat mengaji, M Amin masih menggunakan bahasa tersebut.

Aplikasikan Baso Pelembang di Komunitas FB
Nah, dari 2.000 eksemplar buku Tata Bahasa dan Kamus Baso Pelembang, dicetak menggunakan uang pribadi tahun 2010 lalu, hingga kini sudah terjual hingga 1.300 eksemplar. Melihat cukup banyaknya peminat buku ini, Baderel pun menyiapkan diri menulis buku edisi kedua.

Yakni, dengan menambahkan 500 kosakata baru didapatnya. “Di buku terbitan pertama, sudah ada 3.000 kosakata. Nanti di buku edisi kedua, akan ditambahkan lagi sekitar 500 kata,” jelasnya.

Tambahan kosakata ini bisa saja bertambah. Pasalnya, Baderel menyatakan buku edisi kedua tersebut baru akan dirilis dua mendatang. Kini, ia masih memfokuskan diri menyiapkan penerbitan buku Six Dimension Organisation, dirilis bulan April tahun ini.

Tambahan kosakata baru ternyata didapat Baderel satu tahun terakhir. Itu setelah ia masuk di jejaring sosial, FB dan bergabung bersama komunitas pengguna baso Pelembang. Yakni, “Suaro Wong Kito” (Palembang) serta YAYASAN MADRASAH NAJAHIYAH.

Di situs inilah, seluruh wong Pelembang mencoba bebaso. Dari kalimat-kalimat terlontar di dinding FB tersebut, Baderel menambah kosakata baru. Suatu keuntungan memang. Selain dapat mempraktekan baso Plembang, Baderel mengaku mendapat pelajaran dari dunia maya tersebut. Karena sejatinya, cukup sulit menemukan orang-orang tua yang bisa diajak bicara secara langsung untuk mengaplikasikan baso Pelembang ini. (wwn)

Written by: samuji Selasa, 10 April 2012 12:29
SumeksMinggu.com

Rabu, 12 September 2012

Menyibak Misteri “Antu Banyu”



Benarkah Ada Ataukah Sekedar Legenda?
Korban tewas di perairan sungai tak sedikit dikaitkan dengan unsur mistis. Umumnnya dikaitkan dengan antu banyu. Di kawasan Sumsel, sebutan tersebut sudah sangat familiar. Apakah sekedar tahayul atau benar adanya, banyak keluarga korban yang tewas tenggelam, kemudian memanggil pawang untuk menemukan jasad keluarga mereka. Lantas, seperti apa antu banyu acapkali disebut-sebut masyarakat tersebut? Berikut penelusuran Sumeks Minggu.

Sudah berapa banyak jenazah dievakuasinya dari perairan sungai? Ditanya begitu, Abdul Somad, akrab disapa Mang Kunung sempat terdiam. Bukannya binggung, warga Desa Pamulutan Ilir, Kecamatan Pamulutan, Indralaya ini kesulitan menghitungnya. “Sudah tak terhitung. Jumlahnya sudah ribuan,” jelasnya kepada Sumeks Minggu, ditemui dikediamannya, Kamis (4/7) lalu.

Mang Kunung merupakan satu dari beberapa pawang di Pamulutan, kerap dimintai bantuanya oleh masyarakat saat keluarga mereka tenggelam atau di makan buaya. Sebutan pawang buayo, melekat pada pria berumur 53 tahun ini.

Tidak hanya warga Pamulutan, di kawasan Ogan Ilir (OI), Palembang, OKI, Banyuasin serta Musi Banyuasin (Muba), Mang Kunung acap kali di panggil. Jika panggilan datang, pagi, siang ataupun malam, Mang Kunung pun mesti siap keluar. Prinsipnya, ia harus membantu, mencari jenazah warga yang tenggelam.

Diceritakan Mang Kunung, keahlian didapatnya berasal dari nenek moyangnya. Namun, ia baru mengetahuinya tahun 1980 lalu ketika ia berumur 23 tahun. Ketika warga tenggelam dan sulit ditemukan, ia mendapatkan bisikan gaib agar membantu.

Meski ragu, ia kemudian memberanikan terjun. Saat dirinya terjun ke dalam sungai, baru ia ketahui, terdapat kekuatan membantunya mencari jenazah. “Kadang di dalam air saya berenang melawan arus. Logikanya tidak bisa. Tapi itulah kenyataanya,” jelas Mang Kunung.

Nah, dari pengalamannya membantu menemukan jenazah warga tenggelam itulah, Mang Kudung mengetahui seputar seluk beluk antu banyu. “Tiap tahun, kejadian orang meninggal akibat tenggelam bisa ratusan. Hanya 25 persen bisa dikatakan meninggal akibat tenggelam. Lebihnya, bisa dikatakan akibat perbuatan antu banyu itu,” urainya.

Perbedaan jenazah tewas tenggelam dan digelayuti mistis antu banyu dikatakan Mang Kunung terlihat dari hidung jenazah ditemukan. Jika terus menggeluarkan darah, menurutnya itu akibat hisapan. Tak menggeluarkan darah, itu karena tenggelam biasa.

Warga yang tenggelam akibat tenggelam sendiri lanjut Mang Kunung tak lama bakal muncul di permukaan. Sebaliknya, jika lama tak muncul ke permukaan, itu karena tengah dalam pegangan sang mahluk halus.

Dari seluruh korban ditolong, umumnya anak-anak. Berkisar pada umur tujuh tahunan. Atau pasangan yang baru menikah atau wanita yang tengah hamil. “Orang-orang yang diambil itu, biasanya orang-orang yang pada umurnya benar-benar disayang,” jelasnya.

Apa yang terjadi pada korban ini, karena adanya kekosongan pikiran hingga mudah dimasuki mahluk halus. Ada juga, sejak bayi atau sejak kecil sudah ditandai (memiliki siung, red). “Kadang, korban sebelum meninggal kalau diingat memiliki kelainan. Kalau keluarga mengetahui, sebenarnya bisa dirias (diobati, red),” urainya.

Mahluk halus disebut antu banyu sendiri, bentuknya seperti monyet. Lebih kecil dengan rambut panjang hitam. Meski lebih mirip binatang, mahluk ini dikatakan Mang Kunung merupakan jelmaan iblis. Sedangkan iblis, berdasarkan sejarah, sejak Nabi Adam terus menggoda dan menyesatkan manusia.

Di sungai, mereka tinggal di cekukan atau gua. Biasanya ke permukaan di pangkalan-pangkalan tempat masyarakat mandi. “Mereka ada di sepanjang sungai. Jumlahnya banyak. Di kolam juga ada. Seperti kolam yang di Jakabaring,” jelas Mang Kunung.

Pun begitu, bagi masyarakat Sumsel masalah ini diakui Mang Kunung masih menjadi kontroversi. Banyak yang tidak mempercayai hal ini. Banyak juga menyakini hal tersebut sebagai hal lain. Ada yang mengatakannya sebagai perwujudan manusia berbentuk kera besar dan hendak mencari ilmu. Versi lain pun sangat beragam menjadi perbincangan masyarakat.

Meski sering muncul di permukaan, mahluk ini dikatakan Mang Kunung tak terlihat. Sulit sekali kasat mata warga bisa bertatapan langsung. Mereka tak mau terlihat, langsung nyemlung ke dalam air. Nah, untuk menangkal mahluk ini, Mang Kunung memberikan sedikit tips.

Pertama, menempatkan tempurung kelapa, berlubang akibat dimakan tupai. Tempurung kelapa tersebut diletakan diatas batang kayu kandis. Kedua, bahan sapu berwarna hitam (disebut dok, red) dicampur dengan besi, dilapisi kain, dilempar di aliran sungai tempat tinggal.

Bagi Mang Kunung, tiap tahun secara pribadi dia melakukan ritual. Menyembelih ayam, meminta kepada Yang Maha Kuasa agar korban-korban di sepanjang sungai tidak banyak. Entah apa hubungannya, tiap tahun juga Mang Kunung mengaku pergi ke dekat kawasan Muara Tungkal, Jambi.

Tempat tersebut merupakan perpaduan antara air laut dan air sungai. Di kawasan tersebut, menurut cerita Mang Kunung di tempat tersebut terdapat istana, ibarat ibukotanya mahluk gaib. Yang mengejutkan, tiap tahun dia diundang, sekedar melaporkan jumlah masyarakat yang tewas.

Sementara Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumsel, KH Sodikun saat di konfirmasi koran ini sempat tertawa mendengar istilah antu banyu. Namun dirinya tak menampik adanya mahluk gaib, baik di darat ataupun di air. Kepada masyarakat, Sodikun hanya menghimbau untuk memperbanyak dizikir serta bacaan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. (wwn)

Merasa Dikejar Antu Banyu
Entah sekedar sugesti atau benar adanya, salah seorang warga Lorong Selekta/Kangkung, Rt 24, Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu (SU) I sebut saja Emi (42) mengaku seperti dikejar antu banyu.

Perasaan ini diceritakan Emi timbul setelah dirinya melihat kejadian anak tetangganya, Natalia (9,5) yang tewas tenggelam di bawah jembatan Ampera, Sabtu 16 Juni lalu.

Menurut Emi, saat Natalia dikabarkan tenggelam sore hari, penduduk sudah ramai melakukan pencairan. Setelah beberapa jam tak membuahkan hasil, suaminya meminta bantuan pawang di kawasan Keramasan, Kertapati.

Hasilnya, setelah pawang tersebut datang, jenazah Natalia langsung timbul ke permukaan. Namun, saat evakuasi tersebut, Emi yang berada di pinggiran sungai merasa dicolek seseorang.

Saat itu, orang yang suaranya seperti laki-laki tersebut mengatakan agar Emi jangan dekat kearah sungai, nanti menjadi sasaran antu banyu. “Pas aku lihat ke belakang, orang yang colek itu dak ada lagi. Sejak itu, di rumah aku merasa banyak bau amis. Sempat telihat, ada binatang hitam kecil dengan mata merah masuk ke rumah. Aku kadang merinding. Sejak itu aku takut keluar rumah,” jelas Emi.

Emi merasa baikan, berani keluar rumah setelah berobat ke seorang pawang di kawasan Pamulutan. “Kalau nurut yang ngobati aku, antu banyu itu ibarat nyari sasaran. Karno suami aku manggil wong pinter, jadi jenazah Natalia cepat ditemuke,” tandasnya. (wwn)

(Kompol M Haris SH MH, Kasat Polair Polresta Palembang) Sesuai Prosedur, Gandeng Mitra
Pencarian warga yang tenggelam di perairan sungai, dijelaskan Kasat Polair Polresta Palembang, Kompol M Haris SH MH dilaksanakan sesuai prosedur. Pencairan dilakukan oleh anggota berdasarkan keahlian menyelam selama tujuh hari dan dapat diperpanjang jika memungkinkan.

Namun, pencarian di sungai Musi cukup menyulitkan. Dengan arus deras, air sungai Musi cenderung berlumpur membuat warna sungai kekuningan. Meski telah menggunakan penerang, tak banyak hal dapat dilihat oleh anggota.

Oleh sebab itu, sejak lama, Polair dikatakan M Haris menggandeng seorang mitra. “Namanya Pak Senen dan sudah lama menjadi mitra kita. Untuk menemukan jenazah, dia membantu murni masalah kemanusian,” jelas Haris.

Senen sendiri diakui Haris kadang dikatakan orang seorang pawang. Bagi Haris, mitra Polair tersebut dinilainya memiliki kemampuan alam lebih untuk menyelam dan memperkirakan posisi jenazah ketika terjadinya arus sungai.

“Kalau antu banyu itu legenda. Kita tidak mengkaitkannya ke sana. Kita kerja sesuai prosedur dan keahlian saja,” tukasnya. (wwn)

Written by: samuji Rabu, 11 Juli 2012 12:00
SumeksMinggu.com

Kamis, 19 Juli 2012

Bahasa Jawa, Arab, Melayu di Palembang

Keraton Kesultanan Palembang berkomunikasi dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Jawa, Arab, dan Melayu. Bahasa melayu hidup di kawasan ini jauh sebelum Kesultanan berdiri dan di yakini sebagai bahasa masyarakat asli. Tertulis dengan huruf pallawa, bahasa Melayu di gunakan dalam Prasasti Kedukan Bukit (682 M). Prasasti yang ditemukan ditepi Sungai Tatang, sebelah barat Kota Palembang, pada tahun 1920, menandai berdirinya Kerajaan Sriwijaya.

Berbagai temuan sejarah Kerajaan Sriwijaya, termasuk arca dan stupika, menunjukkan bahwa Sriwijaya menjalin kerjasama serta berkomunikasi erat dengan para saudagar dan pemuka agama dari China, India, dan Arab. Hal itu membuktikan bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan. Sriwijaya memiliki rentang wilayah kekuasaan yang luas, meliputi hampir seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka, dan Jawa. Setelah keruntuhan Sriwijaya, pada abad ke - 14, Palembang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Namun, kekuasaan Majapahit tidak mengakar dikawasan ini. Majapahit sendiri duguncang perang saudara, tak lama berekspansi ke pulau Sumatera. Palembang nyaris menjadi daerah tak bertuan, hingga kekuasaan baru di bangun Ki Gede Ing Suro bersama para pengikutnya. Kelompok bangsawan ini menyingkir ke Palembang, setelah kalah dalam perseteruan Kesultanan Demak di Jawa Tengah.

Kontinuitas kultural Jawa tertanam sebagai dasar legitimasi Keraton Palembang. Budayawan Palembang, Djohan Hanafiah mencatat, keterkaitan politik ini berakhir setelah Sultan Abdurrahman (1659-1706) memproklamasikan Kesultanan Palembang pada tahun 1675. Jeroen Peeteers dalam Kaum Tuo Kaum Mudo, perubahan religius Palembang 1821-1942 (1997) memaparkan, dikalangan Keraton, Bahasa Jawa Kromo (bahasa Jawa halus) menjadi bahasa resmi. Akan tetapi, pemakaian bahasa ini tidak tersebar luas diluar lingkungan Keraton Palembang.

Merujuk pada sejumlah naskah berbahasa Jawa yang tersimpan di Royal Asiatic Society, Londo, Peeteers menyakini naskah-naskah tersebut juga hanya beredar dilingkungan keraton. Beberapa naskah berbahasa Jawa ini antara lain Teks Panji (1801) yang ditulis atas perintah Sultan Ahmad Najamuddin. Kesultanan Palembang Darussalam menjadikan agama Islam sebagai dasar negara. Oleh karena itu, ulama mendapatkan penghormatan sangat tinggi Sultan yang berkuasa. Mujib Ali dalam tulisan Pemilihan Ulama Kesultanan Palembang (1997), mengungkapkan penelitiannya bahwa ulama Kesultanan yang mendampingi dan menjadi penasehat Sultan selalu dimakamkan ditempat, bilik, dan deretan yang sama dengan sultan.

Pada makam Kesultanan di Candi Walang, Palembang misalnya, makan susuhan abd 'I-Rahman Khalifat 'I Mukminin Sayyid 'I Imam diapit makam permaisuri dan dan makam Imam Sultan bernama Sayyid Mustafa Alaidrus dari negeri Yaman. Penataan serupa terdapat pula pada makam-makam Sultan yang lain di Kebon Gede, Kawah Tengkurep, dan Kampung 1 Ilir.

Selain didampingi ulama, Sultan juga memiliki juru tulis khusus untuk penulisan bahasa Arab. Bahasa dan tulisan Arab digunakan dalam kitab-kitab utama pengajaran Islam di Palembang, termasuk naskah yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir. Sebagian naskah-naskah keagamaan yang ditemukan, merupakan kitab yang langsung dibawa dari Arab. Sebagian lainnya disalin dengan ketelitian yang tinggi di Palembang.

Akan tetapi, seperti bahasa Jawa Kromo yang hanya di kuasai oleh kalangan bangsawan, bahasa Arab juga lebih dikuasai para guru atau kalangan ulama. Sejumlah naskah keagamaan menggunakan bahasa Arab dilengkapi dengan terjemahan bahasa Melayu, walaupun tetapdi tulis dengan huruf Arab. Naskah-naskah sastra, antara lain hikayat yang berbentuk prosa maupun syair, serta berbagai kisah dalam naskah-naskah pada masa Kesultanan lebih banyak ditulis dengan tulisan Arab dalam bahasa Melayu (Arab Melayu). Kegiatan surat-menyurat, antara laindari Gubernur Batavia juga ditemukan dalam bahasa Arab Melayu.

Djohan Hanafiah dalam bukunya Masjid Agung, Sejarah dan Masa Depan (1988) menyebutkan, Abdul Samud Al-Palembani (1704-1788) adalah salah satu penulis keagamaan yang paling menonjol pada masa Kesultanan. Palembani menuntut ilmu di Mekkah dan belajar tarikat pada Muhammad Al-Saman di Madinah. Sebagian karya Palembani ditulis ketika ia masih berada dinegeri Arab. Karya-karya Palembani antara lain, Hikayat Al-Salikin dan Syair Al-Salikin yang merupakan terjamahan karya Al-Ghazali. Disamping dua kitab berbahasa melayu tersebut, terdapat pula Zahrat al Murid fi bayan al Tauhid, dan lima kitab keagamaan lainnya dalam bahasa Arab.

Sebagian buku-buku Al-Palembani merupakan naskah yang masih tersimpan diberbagai perpustakaan, antara lain di Perpustakaan Museum Nasional Jakarta, Perpustakaan Universitas Leiden Belanda, dan Russian Institute of Oriental Studies di Leningrand Rusia. Mujib menjelaskan, naskah "favorit" Sultan Mahmud Badaruddin II yang ia temukan dalam penelitian adalah Mir'atu at Tulab karya Ar-Raniri. Penelitian pada kantor Deputi urusan Arkeologi inimenjelaskan, kitab ini berisikan pedoman pelaksanaan tata pemerintahan kesultanan.

KOMPAS